Sabtu, 16 Januari 2010

KONSEP PEMBAGIAN NEGARA MENURUT AS-SYAIBANI DAN RELEVANSINYA TERHADAP SUAKA POLITIK DALAM HUKUM INTERNASIONAL

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Muhammad Hasan bin Asy-Syaibani dikenal sebagai tokoh peletak dasar hukum internasional dalam Islam. Beliau juga ahli fikih dan tokoh ketiga Mazhab Hanafi serta guru Imam Syafi’I yang berperan besar dalam mengembangkan dan menulis pandangan Imam Abu Hanifah. Pendidikannya berawal di rumah di bawah bimbingan ayahnya, seorang ahli fikih di zamannya. Pada usia 19 tahun ia belajar kepada Imam Abu Hanifah. Dari kedua imam inilah Asy-Syaibani memahami fikih Mazhab Hanafi dan tumbuh menjadi pendukung utama mazhab tersebut. Asy-Syaibani sendiri kemudian hari banyak menulis pelajaran yang pernah diberikan Imam Abu Hanifah kepadanya.

Beliau belajar hadis dan ilmu hadis kepada Sufyan as-Sauri dan Abdurrahman al-Auza’i. Di samping itu, ketika berusia 30 tahun ia mengunjungi Madinah dan berguru kepada Imam Malik yang mempunyai latar belakang sebagai ulama ahlulhadis (ahlulhadis dan ahlurra’yi). Berguru kepada ulama-ulama di atas memberikan nuansa baru dalam pemikiran fikihnya. Asy-Syaibani menjadi tahu lebih banyak tentang hadis yang selama ini luput dari pengamatan Imam Abu Hanifah.

Dari keluasan pendidikannya ini Asy-Syaibani dapat membuat kombinasi antara lairan ahlurra’yi di Irak dan ahlulhadis di Madinah. Ia tidak sepenuhnya sependapat dengan Imam Abu Hanifah yang lebih mengutamakan metodologi nalar (ra’yu). Ia juga mempertimbangkan serta mengutip hadis-hadis yang tidak dipakai Imam Abu Hanifah dalam memperkuat pendapatnya. Di Baghdad, Asy-Syaibani yang berprofesi sebagai guru, banyak berjasa dlam mengembangkan fikih Mazhab Hanafi. Imam Asy-Syafi’i sendiri sering ikut dalam majelis pengajian Asy-Syaibani. Hak ini ditopang pula oleh kebijaksanaan pemerintah Dinasti Abbasiyah yang menjadi Mazhab Hanafi sebagai mazhab resmi negara. Tidak mengherankan kalau Imam Abu Yusuf, yang diangkat oleh Khalifah ar-Rasyid (149 H/766 M-193 H/809 M) untuk menjadi hakim agung (qadi al-qudah), mengangkat Asy-Syaibani sebagai hakim di ar-Riqqah (Irak).

Bukti dari keluasan pemikirannya yang mengkombinasikan antara aliran ahlurra’yi dan ahlulhadis, Asy-Syaibani cukup produktif dalam mengeluarkan karya dan menulis buku. Imam Abu Hanifah sebagai guru Asy-Syaibani tidak meninggalkan karya tulis yang mengukapkan pokok-pokok pikirannya dalam ilmu fikih. Asy-Syaibani lah yang menukilkan dan merekam pandangan Abu Hanifah dalam Zahir ar-Riwayah yang terdiri dari enam judul, yaitu al-Mabsut, al-Jami’ al-Kabir, al-Jami’ as-Sagir, as-Siyar al-Kabir, as-Siyar as-Sagir, dan az-Ziyadat. Adapun kitab-kitab yang ditulis oleh Asy-Syaibani berdasarkan pandangannya sendiri adalah kitab-kitab yang termasuk dalam an-Nawadir adalah Amali Muhammad fi al-Fiqh (pandangan Asy-Syaibani tentang berbagai masalah fikih), ar-Ruqayyat, al-Makharij fi al-Hiyal, ar-Radd ‘ala Ahl Madinah, az-Ziyadah (pendapat asy-Syaibani yang tidak terangkum dalam keempat buku di atas), serta al-Asar (kitab yang melahirkan polemik tentang hak-hak non muslim di negara Islam dan ditanggapi oleh Imam Asy-Syafi’i dalam kitabnya al-Umm.

Dari sejumlah karyanya terhadap perkembangan pemikiran fikih, di antara tema yang menarik adalah dalam sebuat studi sistematis as-Siyar al-Kabir dan as-Siyar as-Sagir, bukunya yang membicarakan masalah hukum internasional. Dalam buku tersebut, asy-Syaibani membicara pembagian dunia menjadi negeri yang damai, negeri yang netral dan negeri yang menyerang. Selain itu juga membicarakan tentang hubungan antara negara Islam dan negara-negara non-muslim, baik dalam masa perang maupun masa damai. Dalam hubungan di masa perang asy-Syaibani menandaskan pandangannya pada prinsip etika Alquran dan sunnah.[1]

Ia juga berpendapat bahwa orang musyrik dari negara asing yang meminta perlindungan (suaka) ke negara Islam wajib diberi perlindunan. Harta dan jiwanya tidak boleh diganggu, sebagaimana dijelaskan dalam surat at-Taubah (9) ayat 6:

وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لا يَعْلَمُونَ

Artinya: Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, Maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.

Sementara dalam hubungan damai dengan negara non muslim, asy-Syaibani menekankan pentingnya mematuhi pakta-pakta perdamaian yang telah disepakati bersama, apa pun ideologi dan kepercayaan negara tersebut. Negara Islam tidak boleh memutuskan hubungan diplomatik secara sepihak. Di samping itu negara Islam juga wajib menghormati duta negara asig yang ditempatkan di negara Islam. Harta, jiwa dan keluarganya harus dilindungi. Menurut asy-Syaibani kalau negara asing membebaskan duta-duta negara Islam dari pajak impor dan pajak-pajak lainnya, maka duta negara tersebut juga harus diberi keistimewaan yang sama.[2]

Karena itu, bila diperhatikan secara mendalam, pandangan asy-Syaibani memberi kontribusi positif bagi bangsa Indonesia dalam hubungan internasional. Apalagi hubungan internasional di era globalisasi ini akan semakin intensf baik hubungan antar negara maupun hubungan antar warga negara. Paling tidak, tantangannya adalah bagaimana Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin bisa memberi sumbangan khususnya as-siyasah ad-dauliyah dalam hubungan internasional masa kini dan masa mendatang guna tercapainya kehidupan yang damai, aman, tertib, dan adil di antara sesama bangsa di muka bumi ini. Oleh karena itu penelitian dibahas dengan judul: Konsep Pembagian Negara dan Relevansinya Terhadap Suaka Politik Dalam Hukum Internasional Menurut Asy-Syaibani.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, masalah yang hendak dikaji dalam penelitian ini adalah pandangan asy-Syaibani terhadap konsep pembagian negara relevansinya terhadap masalah suaka politik dalam hubungan internasional, serta kontribusinya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara kita di Indonesia dalam hubungan internasional. Perumusan masalah ini dikembangkan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan berikut:

1. Bagaimana pandangan asy-Syaibani tentang konsep pembagian negara.

2. Bagaimana argumentasi asy-syaibani dalam mengemukakan pandangannya terhadap masalah perlindungan terhadap warga negara asing.

3. Bagaimana relevansi dan kontribusi pemikiran asy-Syaibani terhadap masalah suaka politik dalam hubungan internasional saat ini.

C. Tujuan Penelitian

Dari perumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui pandangan asy-Syaibani tentang konsep pembagian negara.

2. Mengetahui argumentasi asy-Syaibani dalam mengemukakan pandangannya terhadap masalah perlindungan (suaka) terhadap warga negara.

3. Mengetahui relevansi dan kontribusi pemikiran asy-Syaibani terhadap masalah suaka politik dalam hubungan internasional saat ini.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan berharga kepada pemerintah dalam masalah diplomasi, agar dapat memainkan peran penting politik bebas aktif dalam kancah internasional terutama dalam mengatasi masalah suaka politik yang sering melanda Indonesia.

E. Batasan Istilah

Asy-Syaibani ialah seoran tokoh ketiga Mazhab Hanafi serta guru Imam Syafi’I sebagai peletak dasar hukum internasional dalam Islam. Dasar hukum internasional tersebut tertuang secara keseluruhan dalam kitabnya asy-Syiar al-Kabir dan asy-Syiar ash-Sagir.

Suaka Politik dimaksud dalam pembahasan ini ialah perlindungan yang diberikan oleh suatu negara kepada orang asing yang terlibat perkara/kejahatan politik di negara lain atau negara asal pemohon suaka. Kegiatan politik tersebut biasanya dilakukan karena motif dan tujuan politik atau karena tuntutan hak-hak politiknya secara umum. Kejahatan politik ini pun biasanya dilandasi oleh perbedaan pandangan politiknya dengan pemerintah yang berkuasa, bukan karena motif pribadi. Suaka politik merupakan bagian dari hubungan internasional dan diatur dalam hukum internasional atas dasar pertimbangan kemanusiaan. Setiap negara berhak melindungi orang asing yang meminta suaka politik.[3]

Hukum Internasional dimaksudkan dalam pembahasan ini ialah hukum internasional publik yang keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata. [4] Dengan kata lain sifat hukum hubungan atau persoalan yang diaturnya (objeknya) adalah antara negara-negara dan yang membedakannya terhadap hukum perdata internasional ialah mengatur antara perseorangan.

F. Landasan Teori

Salah satu sumber kajian dan sekaligus ruang lingkup fiqh siyasah adalah as-Siyasah al-Kharijiyah (politik luar negeri). Muhammad Iqbal menjelaskan dalam bukunya Fiqh Siyasah bahwa bagian ini mencakup hubungan keperdataan antara warga negara muslim dengan warga negara non-muslim yang berbeda kebangsaan (as-sisayah ad-duali al-khas) atau disebut juga hukum perdata internasional dan hubungan diplomatik atara negara muslim dan negara non-muslim (as-siyasah ad-duali al-‘am) atau disebut juga hubungan internasional. Hubungan internasional ini mengatur antara lain kebijakan negara Islam dalam masa damai dan perang. Hubungan dalam masa damai menyangkut tentang kebijaksanaan negara mengangkat duta dan konsul, hak-hak istimewa mereka, tugas, dan kewajiban-kewajibannya. Sedangkan dalam masa perang menyangkut antara lain tentang dasar-dasar izin, pengumuman, etika berperang dan juga tentang tawanan perang serta gencatan senjata.[5]

Sejalan dengan penjelasan di atas, menurut A. Djazuli ada delapan dasar yang dapat dipakai dalam as-siyasah ad-dauliyah yaitu: 1) kesatuan umat manusia; 2) al-‘adalah (keadilan); 3) al-musawah; 4) karomah insaniyah (kehormatan manusia); 5) Tasamuh (toleransi) 6) kerjasama kemanusiaan; 7) al-hurriyah (kebebasan); 8) akhlakul karimah (perilaku moral yang baik).[6]

Dalam perkembangan selanjutnya mengenai suaka, Starke, J.G menjelaskan dalam hukum internasional hak negara secara umum untuk memberikan suaka dalam perwakilan asing tidak diakui. Suaka dapat diberikan di gedung perwakilan asing dalam tiga hal yang luar biasa:

1. Suaka dapat diberikan untuk jangka waktu sementara kepada orang perorangan yang memang secara fisik dalam bahaya karena adanya kekerasan masal atau dalam hak seorang buronan yang dalam bahaya karena melakukan kegiatan politik terhadat negara setempat.

2. Suaka dapat juga diberikan di mana negara itu terdapat kebiasaan yang sudah lama diakui dan mengikat.

3. Suaka dapat diberikan juga jika terdapat perjanjian khsusus antara negara di mana terdapat perwakilannya.

Majelis Umum PBB dalam sidangnya 14 Desember 1947 telah menyetujui resolusi yang memberikan rekomendasi bahwa dalam praktiknya negara-negara harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

1. Jika seorang peminta suaka, permintaan seharusnya tidak ditolak atau jika ia memasuki wilayah negara itu, ia tidak perlu diusir tetapi jika suatu kelompok orang-orang dalam jumlah besar meminta suaka, hal itu ditolak atas dasar keamanan nasional dari rakyatnya.

2. Jika suatu negara merasa sukar untuk memberikan suaka, haruslah memperhatikan langkah-langkah yang layak demi rasa persatuan internasional melalui peranan dari negara-negara tertentu atau PBB.

3. Jika suatu negara memberikan suaka kepada kaum pelarian atau buronan, negara-negara lainnya haruslah menghormatinya.[7]

Oleh sebab itu, suaka politik dapat diberikan oleh suatu negara haruslah berdasarkan kepentingan yang dapat membahayakan jiwa karena merasa terdiskreditkan atau diintimidasi dalam melakukan aktivitas kegiatan politiknya.

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian yang dilakukan berjudul Konsep Pembagian Negara Terhadap Suaka Politik Relevansinya dengan Hukum Internasional Menurut Asy-Syaibani. Terhadap penelitian ini akan dilakukan studi analisa sintesis yang merupakan pendekatan ilmiah terhadap hukum Islam yang menggabungkan metode filosofis, humaniora, historis, sosiologis dengan pendekatan doktriner secara bersama-sama.

2. Pengumpulan Data

Karena penelitian ini bersifat kepustakaan (library research) maka pengumpulan bahan atau data dilakukan dengan melacak, membaca dan menelaah karya-karya asy-Syaibani tentang tema penelitian sebagai sumber primer. Di antaranya adalah as-Siyar al-Kabir, as-Siyar as-Sagir dan Ensiklopedia Islam sebagai pendukung. Sumber primer ini akan dilengkapi dengan sumber-sumber lainnya (yang merupakan sumber sekunder) yang berguna dalam mendukung penelitian.

3. Analisa Data

Data yang diperoleh akan dianalisis dan dikaji dengan metode sebagai berikut:

  1. Deduktif, dalam hal ini peneliti akan mengemukakan kaidah-kaidah yang umum kemudian diambil suatu kesimpulan yang khusus.
  2. Induktif, dalam hal ini peneliti akan mengemukakan terlebih dahulu hal-hal yang bersifat khusus, kemudian diambil suatu kesimpulan yang umum.

H. Sistematika Penulisan

Secara sistematis, penelitian ini disusun menjadi lima bab yang salng berkaitan satu sama lain sebagai berikut:

Bab pertama adalah pendahuluan yang merupakan pengantar pada pembahasan. Bab ini meliputi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab kedua membicarakan biografi asy-Syaibani. Dalam bab ini akan diuraikan Latar Belakang Keluarga dan Pendidikannya, Karya-karyanya, dan Faktor-faktor yang mempengaruhi pemikirannya.

Bab ketiga dibicarakan Konsep Pembagian Negara Dalam Islam. Bab ini terdiri dari subbab yaitu Prinsip Hubungan Internasional Dalam Islam, Pembagian Negara Menurut Para Ulama.

Bab keempat akan dikaji Hubungan Diplomatik dan Suaka Politik, yang terdiri dari Pendapat Asy-Syaibani Tentang Konsep Pembagian Negara, Argumentasi Asy-Syaibani Terhadap Masalah Perlindungan Warga Negara dan Analisa Penulis.

Pembahasan terakhir dengan bab penutup yang merupakan kesimpulan dan temuan penelitian di samping saran dan rekomendasi.



[1]Lihat Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, as-Siyar al-Kabir (Kairo: Syirkah Misriyah, 1958), h. 133-265. Lihat juga A. Djazuli, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemasalahatan Umat dalam Rambu-Rambu Syari’ah (Jakarta: Kencana, 2007), h. 132.

[2]Abdul Aziz Dahlan, et.al. Ensiklopedia Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2006). Jilid 5, cet. Keenam, h.688.

[3]Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah; Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam (Jakarta: Grafindo Media Persada, 2001), h. 265.

[4]Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional (Bandung: Alumni, 2003), h. 1-2.

[5]Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 14.

[6]A. Djazuli, Fiqh Siyasah, h. 122-130.

[7]Sumaryo Suryokusumo, Hukum Diplomatik: Teori dan Kasus (Bandung: Alumni, 1995), h. 155.


BAB II

BIOGRAFI ASY-SYAIBANI

A. Latar Belakang Keluarga dan Pendidikannya

Nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad bin al-Hasan bin Farqad Jazariya asy-Syaibani. Lahir di Wasit 132 H/748 M dan wafat 189 H/804 M), hidup di masa akhir dinasti Umawiyyah dan permulaan Abbasiyah. Ayahnya seorang tentara Syam pada masa dinasti Umawiyah dan tinggal di Damaskus kemudian pindah dan menetap ke Kufah. Dan ketika itu Kufah adalah sebagai markaz ilmu fikih, lughah dan nahwu, sama seperti halnya di Basrah markaznya ilmu adab, lughah dan nawhu.[1]

Ahli fikih dan tokoh ketiga Mazhab Hanafi yang berperan besar mengembangkan dan menulis pandangan Imam Abu Hanifah. Pendidikannya berawal di rumah di bawah bimbingan langsung dari ayahnya, seorang ahli fikih di zamannya. Pada usia belia asy-Syaibani telah menghafal Alquran. Pada usia 19 tahun ia belajar kepada Imam Abu Hanifah. Kemudian ia belajar kepada Imam Abu Yusuf, murid Imam Abu Hanifah. Dari keduaimam inilah asy-Syaibani memahami fikih Mazhab Hanafi dan tumbuh menjadi pendukung utama mazhab tersebut. [2] Asy-syaibani sendiri di kemudian hari banyak menulis pelajaran yang pernah diberikan Imam Abu Hanifah kepadanya.

Ia belajar hadis dan ilmu hadis kepada Sufyan as-Sauri dan Abdurrahman al-Auza’i. di sampig itu, ketika berusia 30 tahun ia mengunjungi Madinah yang berguru kepada Imam Malik yang mempunyai latar belakang sebagai ulama ahlulhadis dan ahlurra’yi. Berguru kepada ulama-ulama di atas memberikan nuansa baru dalam pemikiran fikihnya. Asy-Syaibani menjadi tahu lebih banyak tenang hadis yang selama ini luput dari pengamtan Imam Abu Hanifah.

Dari keluasan pendidikannya ini, asy-Sayibani dapat membuat kombinasi antara aliran ahlurra’yi di Irak dan ahulhadis di Madinah. Ia tidak sepenuhnya sependapat dengan Imam Abu Hanifah yang lebih mengutamakan metodologi nalar (rakyu). Ia muga mempertimbangkan serta mengutip hadis-hadis yang tidak dipakai Imam Abu Hanifah dlam memperkuat pendapatnyua. Di Baghdad asy-Syaibani, yang berprofesi sebagai guru, banyak berjasa dalam mengembangkan fikih Mazhab Hanafi, Imam asy-Syafi’I sendiri sering ikut dalam majelis pengajian asy-Syaibani. Hal ini ditopang pula oleh kebijaksanaan pemerintah Dinasti Abbasiyah yang menjadikan Mazhab Hanafi sebagai mazhab resmi negara. Tidak mengherankan kalau Imam Abu Yusuf, yang diangkat oleh Khalifah Harun ar-Rasyid (149 H/766 M-193 H/809 M) untuk menjadi hakim agung (qadi al-qudah), mengangkat asy-Syaibani sebagai hakim di ar-Riqqah (Irak).

B. Karya-karyanya

Asy-Syaibani cukup produktif dalam menulis buku. Kitab-kitab yang ditulisnya dapat diklasifikasi dalam dua golongan berikut.

(1) Zahir ar-Riwayah, kitab-kitab yang ditulis berdasarkan pelajaran yang diberikan oleh Imam Abu Hanifah. Imam Abu Hanifah tidak meninggalkan karya tulis yang mengungkapkan pokok-pokok pikirannya dalam ilmu fikih. Asy-Syaibani lah yang menukilkan dan merekam pandangan Imam Abu Hanifah dalam Zahir ar-Riwayah ini. Kitab Zahir ar-Riwayah terdiri atas enam judul, yaitu al-Mabsut, al-Jami’ al-Kabir, al-Jami’ as-Sagir, as-Siyar al-Kabir, as-Siyar as-Sagir, dan az-Ziyadat. Keenam kitab ini berisikan pendapat Imam Abu Hanifah tentang berbagai masalah keislaman, seperti fikih, usul fikih, ilmu kalam, dan sejarah. Keenam kitab ini kemudian dihimpun oleh Abi al-Fadl Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Maruzi (w.334 H/945 M) salah seorang ulama fikih Mazhab Hanafi, dalam salah satu kitab yang berjudul al-Kafi.[3]

(2) An-Nawadir, kitab-kitab yang ditulis oleh asy-Syaibani berdasarkan pandangannya sendiri. Kitab-kitab yang termasuk dalam an-Nawadir adalah Amali Muhammad fi al-Fiqh (pandangan asy-Syaibani tentang berbagai masalah fikih), ar-Ruqayyat (himpunan keputusan terhadap masalah hilah dan jalan keluarnya) ditulis ketika menjadi hakim di Riqqah (Irak). Ar-Radd ‘ala ahl al-Madinah (penolakan pandangan orang-orang Madinah), az-Ziyadah (pendapat asy-Syaibani yang tidak terangkum dalam keempat buku tersebut di atas), kitab yang dikarangnya setelah al-Jami’ al-Kabir serta al-Asar. Kitab yang terakhir ini melahirkan polemik tentang hak-hak non muslim di negara Islam dan ditanggapi oleh Imam asy-Syafi’i dalam kitabny al-Umm. Imam asy-Syafi’I menulis bantahan dan kritik secara khusus terhadap asy-Syaibani dengan judul ar-Radd ‘ala Muhammad bin Hasan (bantahan terhadap pendapat Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani).[4]

C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemikirannya

Asy-Syaibani hidup ketika perkembangan fikih Islam mencapai puncaknya. Pada masanya terbentuk dua pola pemikiran fikih yang berbeda. Yang pertama adalah pola piker ahlurra’yi yang diwakili oleh Imam Abu Hanifah di Irak dan yang kedua adlaah pola piker ahlulhadis yang diwakili oleh Imam Malik di Madinah. Di kalangan pengikut mereka tidak jarang terjadi sikap saling menyalahkan. Pengikut ahlurra’yi berpandangan bahwa hukum Islam mengalami kemandekan di tangan ahlulhadis, karena keterbatasan mereka dalam menggunakan ar-ra’yu (rakyu, penalaran rasional). Sebaliknya, pengikut aliran ahlulhadis menuduh pengikut ahlurra’yi terlalu bebas memakai ijtihad melalui pendekatan nalar, sehingga mengakibatkan tidak berfungsinya secara efektif sunnah Nabi Saw. Dalam kondisi demikianlah asy-Syaibani mencoba menjembatani pertentangan kedua kelompok tersebut.

Sebagai pendukung Mazhab Hanafi, asy-Syaibani tidak dapat melepaskan diri dari pemaksaan istihsan yang dikembangkan oleh Imam Abu Hanifah. Sebagai contoh, jika penduduk suatu kota atau benteng meminta perlindungan kepada kaum muslimin, maka menurut kias, perlindungan tersebut hanya berlaku untuk kota atau bentengnya dan tidak mencakup seluruh sarana dan fasilitas yang ada di dalamnya. Akan tetapi, asy-Syaibani menolak pendapat berdasarkan kias. Dalam hal ini ia beralih menggunakan istihsan. Menurutnya, berdasarkan istihsan, perlindungan tersebut mencakup kota atau benteng beserta seluruh sarana dan prasarana yang ada di dalamnya. Karena, dalam penggunaan istilah yang umum, kata-kata qal’ah (benteng) atau bangunan, tetapi juga meliputi segala isi dan penghuninya.

Asy-Syaibani sering menyatakan pemakaian istihsan secara eksplisit dalam beberapa tulisannya. Terhadap hal-hal tertentu, ia sering menyatakan bahwa dirinya dan ulama Irak lainnya meninggalkan kias dan beralih kepada istihsan.

Walaupun demikian, dalam beberapa hal ia menolak pendapat gurunya, Imam Abu Hanifah dan mengikuti pandangan ahlulhadis. Misalnya dalam persoalan apakah seorang imam dapat memimpin shalat dengan posisi duduk sedangkan makmum yang dipimpinnya shalat dengan posisi berdiri ia sependapat dengan Imam Malik dan ahlulhadis. Ia berpendapat bahwa imam harus memimpin shalat dengan posisi berdiri, padahal imam harus memimpin shalat dengan posisi berdiri, padahal Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa imam boleh duduk dalam memimpin makmum yang shalat dengan posisi berdiri. Asy-Syaibani mengikuti tradisi Nabi SAW dan al-Khulafa’ ar-Rasyidun (Empat Khalifah Besar) yang memimpin shalat dalam posisi berdiri. Menurutnya, tidak ada satu petunjuk pun yang menyampaikan bahwa Nabi Saw dan al-Khulafa ar-Rasyidun pernah memimpin shalat dengan posisi duduk. Karena itu, praktek yang lebih autentik inilah yang diikuti oleh asy-Syaibani.[5]

Ia juga tidak segan mengkritik Imam Malik dan ahlulhadis karena mereka mengabaikan tradisi (sunnah) Rasulullah SAW yang mereka riwayatkan sendiri. Menurut sebuah riwayat dari Imam Malik melintas di hadapan orang yang sedang shalat tidak terlarang, sementara Nabi SAW jelas melarangnya (HR. Ahmad bin Hanbali dan Abu Dawud). Asy-Syaibani mengkritik hal itu, karena menurutnya Imam Malik dan orang Madinah umumnya menyampaikan dan meriwayatkan tradisi RAsulullah SAW, sedangkan mereka sendiri tidak mengikutinya.

Konsistensi asy-Syaibani dalam mengikuti tradisi Rasulullah SAW juga terlihat dalam perbedaan pendapatnya dengan Imam Abu Hanifah tenang masalah ganimah (harta rampasan perang). Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa bagian untuk tentara berkuda sama banyak antara tentara dan kudanya. Masing-masing mendapat satu bagian. Ia tidak mengakui autentisitas hadis Nabi SAW yang mengatakan bahwa tentara berkuda mendapat tiga bagian: dua bagian untuk kudanya dan satu bagian untuk tentara untuk tentara itu sendiri (HR. Abu Dawud). Asy-Syaibani menolak pendapat Imam Abu Hanifah dan mendukung pendapat tiga bagian untuk tentara berkuda, sebagaimana ditegaskan hadis di atas. Pembagian ini, menurut asy-Syaibani meliputi satu bagian untuk biaya perawatan kuda, satu bagian untuk kepentingan kuda dalam pertempuran, dan satu bagian lagi untuk kepentingan tentara itu sendiri.[6]

Pandangan asy-Syaibani ini memperlihatkan bahwa ia mempunyai pemikiran yang independen. Menurut Fazlur Rahman (1919-1988), pemikir neomodernisme Islam asal Pakistan, kitab as-Siyar al-Kabir yang ditulis as-Syaibani dalam masa akhir hidupnya merupakan ijtihadnya sendiri yang timbul dari kritiknya terhadap pendapat yang berkembang sebelumnya.

Di samping pandangannya yang independen tersebut, asy-Syaibani juga dikenal sebagai tokoh peletak dasar hukum internasional dalam Islam. Asy-Syaibani adalah orang yang pertama yang menulis masalah hukum internasional dalam sebuah studi sistematis as-Siyar as-Sagir dan as-Siyar al-Kabir adalah bukunya yang membicarakan masalah tersebut. Dalam buku tersebut, asy-Syaibani membicarakan masalah hubungan antara negara Islam dan negara-negara nonmuslim baik dalam masa maupun damai. Dalam hubungan di masa perang asy-Syaibani menandaskan pandangannya pada prinsip etika Alquran dan sunah. Ia berpendapat bahwa peperangan hanya diizinkan dalam kondisi darurat dan untuk tujuan mempertahankan diri (defensive), bukan menyerang atau menggangu kedaulatan negara lain (ofensif). Kalaupun terjadi peperangan tidak dibenarkan membunuh anak-anak, wanita, dan orang tua renta, membakar negeri musuh atau menebang pohon serta hal-hal yang sifatnya merusak (destruktif).[7]

Ia juga berpendapat bahwa orang musyrik dari negara asin gyan gmeinta perlindungan (suaka) ke negara Islam wajib diberi perlindungan (suaka) ke negara Islam wajib diberi perlindungan. Harta dan jiwanya tidak boleh diganggu, sebagaimana dijelaskan dalam surat at-taubah (9) ayat 6.

Sementara dalam hubungan damai dengan negara nonmuslim, asy-Syaibani menekankan pentingnya mematuhi pakta-pakta perdamaian yang telah disepakati bersama, apa pun ideologi dan kepercayaan negara tersebut. Negara Islam tidak boleh memutuskan hubungan diplomatic dengna negara lain secara sepihak. Di samping itu, negara Islam juga wajib menghormati duta negara asing yang ditempatkan di negara Islam. Harta, jiwa, dan keluarganya harus dilindungi. Menurut asy-Syaibani kalau negara asing membebaskan duta-duta negara Islam dari pajak impor dan pajak-pajak lainnya, maka duta negara tersebut juga harus diberi keistimewaan yang sama.



[1]Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, as-Siyar al-Kabir (Kairo: Syirkah Misriyah, 1958), h. 7.

[2]Abdul Aziz Dahlan, et.al. Ensiklopedia Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2006). Jilid 5, cet. Keenam, h.6686.

[3]Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, as-Siyar al-Kabir, h. 11.

[4]Ibid.

[5]Abdul Aziz Dahlan, et.al. Ensiklopedia Hukum Islam, Jilid 5, cet. Keenam, h.6687.

[6]Ibid.

[7]Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, as-Siyar al-Kabir, h. 11.

BAB III

KONSEP PEMBAGIAN NEGARA DALAM ISLAM

A. Prinsip Hubungan Antar Negara Dalam Islam

Di dalam tingkat perkembangan manusia sekarang, dunia dibagi menjadi kurang lebih 160 unit yang disebut dengan negara. Bagaimana dan mengapa negara-negara itu mencapai bentuk dan penduduk seperti sekarang ini terutama disebabkan peristiwa sejarah dan usaha orang-orang yang membentuknya. Di dalam suatu negara berlaku hukum, dan kepada siapa yang melanggar akan dijatuhi hukuman. Tetapi diluar wilayah negara tidak ada hukum demikian, dan pilihan antara anarki internasional atau persahabatan internasional, tergantung penuh pada masing-masing negara. Oleh sebab itu secara garis besar para fuqaha/sarjana hukum Islam secara ilmu pengetahuan membagi hubungan internasional kepada dua kelompok, yaitu:

a. Hubungan antar bangsa dan negara dalam Darul Salam.

b. Hubungan antar bangsa dan negara dalam Darul Kuffar.[1]

Dus, hakikat ajaran Islam didasarkan pada sumber-sumber normatif tertulis dan sumber-sumber praktis yang pernah diterapkan dalam sejarah umat Islam mulai abad klasik hingga modern. Segala aspek yang menyangkut hubungan antar negara hingga warga negara terdapat dalam sumber normatif tertulis, baik itu berasal dari Al-Quran maupun hadis Rasulullah Saw yang kemudian dijadikan sebagai dasar konteks adanya pengaturan hubungan internasional dalam Islam.

Berdasarkan kedua sumber tersebut, ulama kemudian menuangkannya dalam kajian fiqh al-siyar wa al-jihad (hukum internasional tentang damai dan perang). Istilah “siyar” untuk kajian hubungan internasional dalam Islam ini, menurut Syarifuddin Pirzada, dipergunakan pertama kali oleh Imam Abu Hanifah. Pembahasan/kajian ini selanjutnya ditulis secara sistematis oleh muridnya bernama Muhammad al-Syaibani dalam kitab al-siyar kabir dan al-siyar as-sagir. Selain asy-Syaibani (748-804 M), Imam Malik (716-795) juga membahas hubungan internasional dalam kitabnya al-Muwaththa’. Pada masa-masa selanjutnya kemudian banyak ulama menulis kitab-kitab yang mengkaji hubungan internasional ini. Maka lahirlah istilah-istilah seperti al-jihad, al-Ghanimah dan al-Maghazi[2] untuk pembahasan hukukm internasional.

Sedangkan sumber-sumber praktis adalah aplikasi sumber-sumber normatif tersebut oleh pemerintah di negara-negara Islam dalam berhubungan dengan negara-negara lain. Hal ini dapat dirujuk langsung pada kebijakan-kebijakan politik Nabi Muhammad Saw. terhadap negara-negara sahabat maupun musuh, kebijakan al-khulafa’ al-Rasyidun dan para pelanjut mereka.

Sebagai pedoman sumber hukum utama dan petunjuk dalam Islam, Al- Quran menjelaskan beberapa hal prinsip dasar yang mengatur hubungan internasional. Rinciannya adalah sebagai berikut:

  1. Hubungan kerja sama yang baik dan adil

لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ.

Artinya: Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS. al-Mumtahanah, 60:8)

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ.

Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.(QS. al-Hujarat, 49:13)

  1. Mengutamakan perdamaian

وَإِنْ جَنَحُوا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا وَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ.

Artinya: Dan jika mereka condong kepada perdamaian, Maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (QS. al-Anfal, 8:61)

  1. Memperkuat kewaspadaan dalam suasana damai

وَإِنْ يُرِيدُوا أَنْ يَخْدَعُوكَ فَإِنَّ حَسْبَكَ اللَّهُ هُوَ الَّذِي أَيَّدَكَ بِنَصْرِهِ وَبِالْمُؤْمِنِينَ.

Artinya: Dan jika mereka bermaksud menipumu, Maka Sesungguhnya cukuplah Allah (menjadi pelindungmu). Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para mukmin. (QS. al-Anfal, 8:62).

  1. Peperangan diizinkan hanyalah kalau terpaksa dan untuk tujuan defensif, bukan ofensif.

أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ .الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ إِلا أَنْ يَقُولُوا رَبُّنَا اللَّهُ

Artinya: Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena Sesungguhnya mereka telah dianiaya. dan Sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu,(yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan Kami hanyalah Allah". (QS. al-Hajj, 22: 39-40).

  1. Mengajak orang lain kepada Islam dengan cara-cara yang baik dan bijaksana. Jika mereka berbuat jahat, balaslah kejahatan mereka dengan yang setimpal, tidak boleh berlebihan.

وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ.وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأَخْرِجُوهُمْ مِنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ وَلا تُقَاتِلُوهُمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ حَتَّى يُقَاتِلُوكُمْ فِيهِ فَإِنْ قَاتَلُوكُمْ فَاقْتُلُوهُمْ كَذَلِكَ جَزَاءُ الْكَافِرِينَ .فَإِنِ انْتَهَوْا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ .وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلا عُدْوَانَ إِلا عَلَى الظَّالِمِينَ .

Artinya: Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah[3] itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), Maka bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir. Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.

  1. Tidak boleh memaksakan agama kepada orang lain.

لا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ .

Artinya: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut[4] dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.

  1. Menghormati pakta-pakta perjanjian yang telah ditandatangani.

كَيْفَ يَكُونُ لِلْمُشْرِكِينَ عَهْدٌ عِنْدَ اللَّهِ وَعِنْدَ رَسُولِهِ إِلا الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ فَمَا اسْتَقَامُوا لَكُمْ فَاسْتَقِيمُوا لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ.

Artinya: Bagaimana bisa ada Perjanjian (aman) dari sisi Allah dan RasulNya dengan orang-orang musyrikin, kecuali orang-orang yang kamu telah Mengadakan Perjanjian (dengan mereka) di dekat Masjidilharaam[5]? Maka selama mereka Berlaku Lurus terhadapmu, hendaklah kamu Berlaku Lurus (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa. (QS. at-Taubah, 9: 27).

Selain itu, Nabi Muhammad Saw juga memberi tuntutan kepada umatnya dalam menyikapi hubungan internasional. Salah satunya etika dalam berperang sebagaimana hadis diriwayatkan Muslim yang disimpulkan sebagai berikut:

1. Perang dilandasi oleh rasa takwa kepada Allah, bukan tujuan-tujuan lain yang bersifat duniawi;

2. Yang diperangi adalah orang-orang kafir yang memusuhi Islam;

3. Jangan menggelapkan harta rampasan perang;

4. Jangan berkhianat, termasuk lari dari perang, karena hal ini merupakan dosa besar;

5. Jangan membunuh secara kejam;

6. Jangan membunuh anak-anak, termasuk di dalamnya wanita dan orang tua jumpo;

7. Terhadap orang yang belum memeluk Islam dan tidak memusuhi Islam, tawarkan kepada mereka apakah mau masuk Islam, membayar jizyah atau diperangi.[6]

Demikianlah paparan beberapa prinsip ajaran Islam dalam konteks hubungan internasional pada masa damai maupun pada masa perang. Dalam perkembangan mutakhir, pembahasan hukum/hubungan internasional (al-‘alaqah al-dualiyah) dibedakan atas hukum internasional khusus (al-‘alaqah al-dualiyah al-khas) yang membahas dan mengatur tentang hubungan hukum antara warga negara suatu negara dengan warga negara lain yang berbeda kewarganegaraan, seperti masalah jual beli, perkawinan dan utang piutang. Sedangkan hukum internasional umum (al-‘alaqah al-dualiyah al-‘am) adalah hubungan hukum yang mengatur hubungan antara negara yang satu dengan negara lainnya dalam, seperti pengangkatan duta besar, hak-hak istimewa diplomat dan peraturan perang dan damai.[7] Dengan kata lain, hukum internasional dalam arti luas mencakup Hukum Perdata Internasional dan Hukum Publik Internasional[8]. Namun lazimnya, jika orang berbicara tentang hukum internasional, hampir selalu yang dimaksudkannya ialah Hukum Publik Internasional.

B. Pembagian Negara Menurut Hukum Islam.

Selain seorang rasul, Nabi Muhammad Saw juga merupakan seorang negarawan yang mengusung Islam sebagai penyempurna syariat sebelumnya. Betapa besar perjuangan yang telah dilakukan selama 23 tahun mampu membawa perubahan fundamental masyarakat Jazirah Arab ke arah yang lebih bersifat internasional hingga dapat menembus batas ruang dan waktu. Dengan kata lain, syari’at Islam bersifat universal dan kekal abadi selamanya. Hal ini ditegaskan sebagaimana firman Allah dalam Surat Saba’ ayat 28:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ

Artinya: dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui. (QS. Saba’, 34: 28)

Meskipun Al-Quran mengklaim syari’at Islam bersifat kekal dan universal, Al-Quran juga mengakui kebebasan manusia untuk menerima sepenuh hati atau menolaknya dengan penuh kesadaran, tanpa merasa dipaksa. Dalam surat al-kahfi, 18:29, Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad untuk menyampaikan kebenaran Islam. Karena itu, tidak ada paksaan bagi umat lain untuk memeluk Islam. Dalam ayat lain pun Allah menegaskan bahwa masalah iman seseorang adalah urusan Allah. Nabi sendiri tidak berhak memaksa orang lain untuk mengikuti beliau.

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لآمَنَ مَنْ فِي الأرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ

Artinya: Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? (QS. Yunus, 10: 99)

Dari ayat-ayat di atas dapat dipahami bahwa secara tegas syari’at Islam memang ditujukan untuk segenap manusia hingga akhir zaman. Namun realitas menunjukkan bahwa tidak semua umat mau menerima kebenaran Islam. Konsekuensi logis dari hal ini adalah bahwa syari’at Islam tidak dapat diberlakukan untuk seluruh manusia. Justru dengan kenyataan ini, jumhur ulama membagi negara yang merupakan alat legitimasi dalam penerapan hukum Islam kepada darul Islam, darul harbi dan darul aman atau darul ‘ahd.[9]

Pada dasarnya tiga terminologi yang muncul berkaitan dengan konsep pembagian negara, darul Islam, darul harbi, dan darul aman atau dar al-‘ahd berawal dari pemisahan wilayah yang didasarkan atas sifat pemerintahannya, mayoritas agama yang dianut penduduknya, dan hukum yang diterapkan. Mulanya, menurut pemikiran Hanafiah pembagian wilayah hanya ada dua bentuk, yaitu darul Islam dan darul harbi. Tetapi Asy-Syaibani menambahkan satu bentuk negara lagi, yakni dar al-aman atau dar al-‘ahd.[10]

Dalam menentukan identitas suatu negara apakah termasuk darul Islam, darul harbi, dar al-aman atau dar al-‘ahd, para ulama berbeda pendapat. Mengenai darul Islam, di antara mereka ada yang melihat dari sisi hukum yang berlaku di negara tersebut (aspek yuridiksi) dan ada pula yang memandang dari sisi keamanan warganya menjalankan syari’at Islam. Sementara ada juga yang melihat dari sisi pemegang kekuasaan negara tersebut (aspek legitimasi). Satu hal yang mendasari identitas antara aspek yuridiksi dan legitimasi tidak bisa dipisahkan dengan alasan bahwa bisa terjadi kemungkinan hukum yang berlaku di suatu negara tergantung kepada si pemegang kekuasaan (mutual).

Sebagaimana Widodo memandang dari sisi yuridiksi yang menyebutnya darus salam yakni negara-negara yang termasuk kategori semua atau mayoritas penduduknya terdiri dari umat Islam, atau juga negara walaupun pemerintahannya bukan pemerintah Islam, akan tetapi orang-orang Islam penduduk negeri dapat dengan leluasa menegakkan hukum Islam sebagai perundang-undangan. Dengan itu penduduknya dapat diklasifikasikan atas 3 golongan yakni: muslim, zimmi dan musta’min atau mu’ahid (warga asing non muslim yang mukim sementara di darus salam.[11]

Warga negara atau orang-orang asing yang berstatus muslim di negeri darus salam diperlakukan sama dalam ketentuan-ketentuan hukum Islam. Adapun orang-orang zimmi selaku warga negara darus salam diharuskan melaksanakan atau mematuhi ketentuan-ketentuan hukum Islam yang berlaku sebagai perundang-undangan negara, tanpa melihat keyakinan agama yang dianut, kecuali dalam hal beribadah, makanan, minuman serta beberapa perkara di bidang hukum keluarga yang dibenarkan menurut kepercayaan dan keyakinan masing-masing. Sedangkan musta’min atau mu’ahid diharuskan tunduk dan patuh kepada hukum perundang-undangan berlaku sesuai perjanjian yang diadakan kedua belah pihak.[12]

Beberapa ulama berpendapat mengenai konsep pembagian negara, adalah sebagai tokoh terbesar mazhab Hanafi, Imam Abu Yusuf (w. 182 H.) mengatakan bahwa suatu negara disebut darul Islam bila berlaku hukum Islam di dalamnya, meskipun sebagian besar penduduknya beragama Islam.[13] Masih menurut pendapat ahli fiqh mazhab Hanafi, Al-Kisani (w. 587 H.) juga memperkuat pendapat Abu Yusuf. Menurutnya, darul harbi dapat menjadi darul Islam apabila negara tersebut memberlakukan hukum Islam.

Dalam pemikiran modern, pandangan demikian juga dianut oleh Sayyid Qutb (w. 1397 H). Tokoh al-Ikhwan al-Muslimin ini memandang negara yang menerapkan hukum Islam sebagai darul Islam, tanpa mensyaratkan penduduknya harus muslim atau bercampur baur dengan ahl al-zimmi.[14]

Al-Rafi’i (w. 623 H.), salah seorang tokoh mazhab Syafi’i, menjadikan alat ukur untuk menentukan apakah sebuah negara darul Islam atau darul harbi dengan mempertimbangkan pemegang kekuasaan dalam negara tersebut. Suatu negara dipandang sebagai darul Islam apabila dipimpin oleh seorang muslim.[15] Pendapat ini didasarkan realitas yang pernah berkembang pada masanya, di mana seorang pemimpin sangat berpengaruh dalam menentukan kebijakan-kebijakan publik negara tersebut. Seorang pemimpin muslim yang memiliki komitmen kepada ajaran agamanya tentu akan berusaha menjalankan nilai-nilai Islam dan hukum Islam di negara yang dipimpinnya (normatif).

Lain lagi halnya pendapat Imam Abu Hanifah (80-150 H) yang membedakan darul Islam dan darul harbi berdasarkan rasa aman yang dinikmati warga negaranya. Bila umat Islam merasa aman dan bebas dalam mejalankan aktivitas keagamaan, maka negara tersebut kategori darul Islam. Sebaliknya, bila tidak ada rasa aman untuk umat Islam, maka negara itu masuk kategori darul harbi.[16]

Sementara Ibn Qayyim al-Jauziyah (w. 751 H) berpendapat bahwa darul Islam adalah negara yang wilayahnya dihuni oleh (mayoritas) orang-orang Islam dan hukum yang berlaku di negara tersebut adalah hukum Islam. Bila kedua unsur ini tidak terpenuhi, maka negara itu bukan darul Islam.

Dari beberapa perbedaan pendapat di atas, oleh mayoritas ahli fiqh terdapat tiga kriteria penting yang harus terpenuhi suatu negara sebagai darul Islam. Pertama; negara yang dipimpin oleh pemerintahan Islam; kedua, mayoritas penduduknya Islam; dan ketiga, hukum yang diberlakukan adalah hukum Islam. Secara lugas dapat dikatakan bahwa bila pemegang kekuasaan beragama Islam, maka hukum Islam dapat jalankan dengan baik. Kalau hal ini tidak terpenuhi, maka negara tersebut termasuk dalam kategori darul harbi. Secara logis sistematis dari kenyataan ini adalah bahwa umat Islam akan memperoleh jaminan keamanan di negara atau wilayah tersebut. Sebaliknya, dengan tidak berlakunya hukum Islam dan berkuasanya orang non-muslim di negara tersebut, maka negara itu disebut darul harbi, meskipun ada umat Islam yang tinggal di sana.[17]

Menurut Javid Iqbal, darul Islam adalah negara yang pemerintahannya dipegang umat Islam, mayoritas penduduknya beragama Islam dan menggunakan hukum Islam sebagai undang-undangnya. Karena kekuasaan mutlak atau kedaulatan puncak di tangan Allah, maka darul Islam harus menjunjung tinggi supremasi hukum Islam, selanjutnya, karena masyarakat muslim harus diperintah menurut hukum Islam; maka pemimpin pemerintahannya juga haruslah muslim agar mereka dapat melaksanakan hukum Islam.[18]

Namun, seiring dengan laju perkembangan zaman ke arah modern, kriteria ini telah bergeser. Suatu negara disebut darul Islam, bila penduduknya mayoritas beragama Islam, meskipun negara tersebut tidak sepenuhnya menjalankan hukum tersebut. Contoh negara ini adalah Indonesia dan Mesir. Di samping itu, kriteria penerapan hukum Islam dalam suatu negara tentu merupakan hal terpenting untuk menentukan negara itu disebut darul Islam. Contoh inilah yang digunakan oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) dalam menerapkan darul Islam.[19]

Selain itu, terdapat juga perbedaan darul Islam berdasarkan pada tingkat kesucian wilayah dan hak non-muslim untuk menetap di wilayah darul Islam tersebut. Dalam hal ini ada tiga bagian. Pertama, kota Mekah dan wilayah sekitarnya.[20] Jumhur ulama juga memasukkan kota Madinah dalam kelompok ini. Di kedua wilayah ini orang-orang non-muslim, baik ahl zimmi maupun musta’min, tidak boleh menetap. Bahkan untuk kota Mekah, di sekitar al-Masjid al-Haram, orang-orang non-muslim sama sekali tidak boleh memasukinya. Sebagaimana ditegaskan firman Allah dalam surat At-Taubah ayat 28:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا وَإِنْ خِفْتُمْ عَيْلَةً فَسَوْفَ يُغْنِيكُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ إِنْ شَاءَ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis[21], maka janganlah mereka mendekati Masjidilharam[22] sesudah tahun ini[23]. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin[24], maka Allah nanti akan memberimu kekayaan kepadamu dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

C. Hubungan Antar Bangsa Dalam Darul Islam dan Darul Harbi

Adanya pembedaan darul Islam dan darul harbi ini, menurut Wahbah al-Zuhaili, adalah disebabkan oleh peperangan yang terjadi antara umat Islam dengan non muslim. Karena banyaknya di antara darul Islam dan darul harbi yang muncul melalui peperangan. Meskipun demikian, pendapat Zuhaili ini tidak sepenuhnya benar. Ada di antara negara yang lahir secara alami dan damai. Oleh sebab itu, perlu diamati pandangan ulama lain dalam hal ini. Mayoritas ahli fiqh memandang pembagian negara atau wilayah kepada darul Islam dan darul harbi didorong oleh beberapa faktor berikut:

1. Untuk menata dan mengatur kepentingan muslim secara umum sebagai pemimpin dan yang dipimpin di suatu wilayah dalam hubungannya dengan non muslim yang erada di wlayh atau negara yang sama; dan dengan negara atau wlyah yang berdmpingan dengannya;

2. Sebagai upaya untuk menerapkan hukum Islam, bik bagi umat Islam sendiri maupun non-muslim yang berada di wilayah yang berdampingan dengannya;

3. Sebagai usaha ahli fiqh untuk merespons dan menata hukum Islam, terutama dalam bidang mu’amalat dan munakahat, serta menetapkan hukum hubungan antara negara Islam dengan negara non-Islam dalam berbagai lapangan kehidupan.[25]

Perbedaan antara darul Islam dan darul harbi bukan hanya terletak pada sisi hukum yang berlaku di masing-masing negara tersebut, melainkan juga karena perbedaan penguasaan/pemimpin negara tersebut. Oleh sebab itu, dalam darul Islam dan darul harbi juga terdapat perbedaan kategori. Berdasarkan prinsip-prinsip ini, maka suatu darul harbi dapat dibagi ke dalam tiga kategori:[26]

  1. Wilayah atau negara yang di dalamnya tidak terpenuhi unsur pokok sebagai darul Islam, yaitu pemberlakuan hukum Islam dan kekuasaan politik yang berada di tangan non-muslim;
  2. Wilayah atau negara yang hanya memenuhi salah satu unsur pokok untuk disebut sebagai darul Islam, meskipun tidak utuh. Wilayahnya dikuasai oleh non-muslim dan hukum yang berlaku pun bukan hukum Islam. Namun, umat Islam yang menetap di negara tersebut diberi kelonggaran untuk melaksanakan sebagian hukum Islam, sehingga dapat disebut darul Islam (menurut Abu Hanifah). Negara dalam bentuk ini dapat berupa:

a. Darul harbi yang dipimpin dan dikuasai non-muslim, namun umat Islam di negara ini diizinkan melaksanakan kewajiban agamanya dan sebagian syiar Islam, seperti shalat, zakat, haji, pernikahan dan kewarisan. Kondisi inilah yang dijadikan alasan oleh al-Mawardi (w. 450 H) untuk mengelompokkannya ke dalam darul Islam.[27] Muhammad Rasyid Ridha memperkuat pendapat ini. Berdasarkan pengamatannya terhadap negara-negara Eropa dan Amerika, ia melihat umat Islam di wilayah ini dapat dengan aman menjalankan kewajiban agamanya.

b. Wilayah atau negara yang pada mulanya dikuasai umat Islam, tetapi kemudian diambil alih oleh orang-orang non-muslim (kafir), sehingga umat Islam setempa terpaksa tunduk pada mereka, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kondisi yang mereka hadapi. Mereka tetap berjuang untuk memperoleh hak-hak mereka dari orang-orang kafir tersebut. Termasuk dalam kategori ini adalah negara-negara di Asia Tengah yang pernah dicaplok oleh Uni Soviet. Setelah negara Beruang Merah ini bubar pada akhir 1980-an, negara-negara muslim tersebut, seperti Uzbekistan, Turkmenistan, Kazakhstan, Tajikistan dan Azerbaijan bangkit kembali menunjukkn identitas keislamannya.

c. Wilayah atau negara yang dipimpin oleh orang-orang ahli bid’ah yang menyatakan secara langsung dan tidak langsung keluar dari barisan umat Islam yang berpegang kepada Al-Quran dan Sunnah. Dalam bentuk lain, wilayah ini dipimpin oleh orang-orang fasik. Mereka masih mengaku sebagai muslim, tetapi tidak menjadikan hukum Islam dalam pemerintahannya. Mereka menempatkan hukum ciptaan manusia sebagai aturan yang berlaku. Pemerintahan darul harbi ketiga ini membiarkan orang-orang Islam menjalankan hukum Islam yang berhubungan dengan masalah ahwal al-syakhsiyah (pernikahan, perceraian, dan kewarisan). Ibn Taimiyah (w. 729 H) mengidentikkan negara ini dengan dar al-fasiq, karena dipimpin dan didiami oleh orang-orang fasik.[28]

  1. Wilayah atau negara yang dikategorikan sebagai darul harbi. Wilayah ini dikuasai oleh pemerintahan yang non-muslim dan tidak memberlakukan hukum Islam. Penduduk muslim yang menetap di sini tidak mendapat kesempatan untuk menjalankan ajaran agamanya. Darul harbi dalam bentuk ini terbagi dua:

a. Darul harbi yang menjadi tempat harbiyun dan tidak terikat perjanjian atau hubungan diplomatik dengan negara Islam.

b. Dar al-muwada’ah atau dar al-muhadarah, yaitu negara yang dikuasai oleh non-muslim dan mempunyai ikatan kerja sama atau hubungan diplomatik dengan negara Islam. Mereka tidak tunduk ke dalam kekuasaan Islam dan berdaulat penuh terhadap negaranya, namun telah mengadakan perjanjian damai. Perjanjian ini bisa saja terjadi sejak semula, atau sebagai alternatif bagi mereka untuk menghindarkan terjadinya peperangan antara mereka dengan umat Islam. Kategori negara ini disebut juga dengan dar al-shulh atau darul aman.

Terhadap hubungan antar bangsa antara darul Islam dan darul harbi, dalam teori fiqh siyasah ditegaskan bahwa terpeliharanya kehormatan, darah, dan harta bagi seseorang ditentukan oleh adanya ‘keimanan’ dan atau ‘keamanan’. Arti keimanan ialah beragama Islam dan maksud ‘keamanan’ adalah mendapat jaminan keamanan dengan adanya perjanjian selaku penduduk zimmi, atau adanya perjanjian damai dan juga yang serupa itu. penduduk non Muslim yang tinggal menetap di darul harbi dan sebagai warga negara dinamai orang kafir ‘harbiyin’. Ketentuan-ketentuan yang terdapat kaedah fiqh siyasah tersebut, maka bagi orang-orang non muslim/kafir harbiyin tidak dibenarkan memasuki negara-negara darul Islam. Apabila mereka memasukinya, maka tidaklah dijamin keselamatan jiwa dan harta mereka, mereka boleh ditawan atau dibunuh dan harta mereka boleh disita atau dirampas.[29]

Akan tetapi bila seseorang kafir harbi dari suatu negara darul harbi telah mengadakan suatu perjanjian damai dengan negara darul Islam, sehingga dia dapat dipandang sebagai musta’min atau mu’ahid, maka dia akan terpelihara jiwanya dan harta bendanya sewaktu memasuki darul Islam, tetapi jaminan keamanannya sangat terbatas selama dalam tempo yang telah diberikan kepadanya.

Namun sebagian fuqaha berpendapat bahwa mereka tetap dipandang sebagai kafir harbi, sehingga dia tetapi tidak terjamin keselamatan jiwanya dan hartanya. Sebagian fuqaha lain berpendapat bahwa mereka dapat dikategorikan sebagai kafir zimmi sebab dia dengan rela hati sudah menetap berdomisili di darul Islam dan oleh karenanyamenjadilah dia terjamin keslamatannya, baik mengenai jiwa maupun artanya.

Sebagaimana orang-orang darul harbi apabila mereka masuk ke darul Islam tanpa ijin tidak akan terjamin keselamatannya, maka demikian juga orang-orang Islam ataupun orang –orang zimmi, apabila mereka memasuki darul harbi tanpa ijin tidak akan pula terjamin keselamatannya.

Orang Islam dan zimmi yang masuk ke negara-negara darul kuffar dengan ijin penguasa negeri untuk menetap sementara, disebut juga musta’min sebagaimana orang-orang non muslim masuk ke darul Islam. Apabila seorang muslim atau zimmi untuk sementara menetap di darul harbi, maka hal itu tidaklah akan merubah kedudukannya sebagai muslim atau zimmi, selama dia tidak murtad dari agamanya dan mereka boleh kembali ke negeri darul Islam di waktu kapan saja.

Apabila ia murtad sewaktu di darul harbi, maka sudah barang tentu berubah menjadi non muslim (kafir harbi). Apabila seorang muslim atau zimmi selama di darul harbi beristri dengan seorang putri kafir harbi atau musta’min, maka si istri berubah menjadi zimmiyah. Akan tetapi apabila seorang kafir harbi yang musta’min setelah di darul Islam dia beristri dengan seorang zimmiyah, maka si istri tetapi menjadi zimmiyah, sedang si kafir harbi dengan perkawinannya itu, pada sebagian fuqaha bahwa dengan perkawinannya itu tidak berubah menjadi zimmi.

Apabila seorang musta’min sementara menetap di negara darul Islam kemudian menikahi seorang musta’minah, sedangkan si musta’min kemudian menjadi seorang zimmi, maka dengan sendirinya si musta’minah menjadi zimmiyah.[30]

Dengan dasar adanya pembagian negara sebagaimana di atas, banyak kemungkinan terjadi permasalahan yang harus di atur secara rinci baik itu menyangkut status kewarganegaraan apakah dia seorang muslim atau non muslim yang bermukim di darul Islam, darul harbi, dan darul ‘ahd, peperangan, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan ekstradisi berdasarkan pakta-pakta dan suaka politik. Oleh karena permasalahan ini akan dibahas pada bab selanjutnya.



[1]L. Amin Widodo, Fiqh Siyasah Dalam Hubungan Internasional (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1994), h. 13.

[2]Lihat Syarifddin Pirzada, “Islam dan International Law,” dalam Altaf Gautar, et.al, The Challenge of Islam, (London: Islam Council of Europe, 1978), h. 198. Lihat juga Abdul Aziz Dahlan, et. al, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ikhtiar van Hoeve, 1995), Jilid 1, h. 1688.

[3]Fitnah (menimbulkan kekacauan), seperti mengusir sahabat dari kampung halamannya, merampas harta mereka dan menyakiti atau mengganggu kebebasan mereka beragama

[4]Thaghut ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain dari Allah SWT.

[5]Yang dimaksud dengan dekat Masjidilharam ialah: Al-Hudaibiyah, suatu tempat yang terletak dekat Makkah di jalan ke Madinah. pada tempat itu Nabi Muhammad SAW mengadakan perjanjian gencatan senjata dengan kaum musyrikin dalam masa 10 tahun.

[6]Lihat Hadis Shahih Muslim, Juz 2, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), h. 131. Lihat juga Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah; Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam (Jakarta: Grafindo Media Persada, 2001), h. 220.

[7]‘Ali Mansur, al-Syariah al-Islamiyah wa al-Qanun al-Duali al-‘Am,(Kairo: Muhammad Taufiq Awiduh, 1971), h. 81.

[8]C.S.T Kansil, Modul Hukum Internasional, (Jakarta: Djambatan, 2002), h. 1.

[9]Muhammad ibn Ahmad al-Syaibani, Kitab al-Siyar al-Kabir, (Kairo:Syirka Misriyah, 1958), Jilid II, h.507.

[10]Abdul Aziz Dahlan, et. al, Ensiklopedia Hukum Islam, Jilid 1, h. 254.

[11]L. Amin Widodo, Fiqh Siyasah, h. 14

[12]Ibid.

[13]Lihat al-Sarakhsi, Al-Mabsuth, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.t.), Juz. 10, h. 144.

[14]Lihat Sayyid Qutb, Fi Zhilal al-Quran, (Beirut: Dar al-Syuruq, t.tp), Jilid 2, h. 874

[15]Fadhil Yusuf al-Ardahili, al-Anwar li A’mal al-Abrar (Kairo: Muassasah Hasani, 1389 H), Jilid 2, h. 556.

[16]Wahbah Zuhaili, Atsar al-Harb fi al-Fiqh al-Islam (Syiria: Dar al-Fikr, t.tp.), h. 56.

[17]L. Amin Widodo, Fiqh Siyasah, h. 14.

[18]Lihat Javid Iqbal, “The Concept of State in Islam,” dalam Mumtaz Ahmad (Ed.), StatePolitics and Islam, (Washington: American Trust Publication, 1986), h. 38

[19]Abdul Aziz Dahlan, et.al, Ensiklopedia Hukum Islam, Jilid 1, h. 257.

[20]Abu Hasan al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Sulthaniyah (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), h. 157-167.

[21]Maksudnya: jiwa musyrikin itu dianggap kotor, karena menyekutukan Allah.

[22]Maksudnya: tidak dibenarkan mengerjakan haji dan umrah. menurut Pendapat sebagian mufassirin yang lain, ialah kaum musyrikin itu tidak boleh masuk daerah Haram baik untuk keperluan haji dan umrah atau untuk keperluan yang lain.

[23]Maksudnya setelah tahun 9 Hijrah.

[24]Karena tidak membenarkan orang musyrikin mengerjakan haji dan umrah, karena pencaharian orang-orang Muslim boleh Jadi berkurang.

[25]Abdul Aziz Dalan, Ensiklopedia Hukum Islam, Jilid. 1, h. 255.

[26]Lihat Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, h. 225.

[27]Ahmad ibn Hajr al-Asqalani, Fath al-Bari, (Riyad: Muhammmad ibn Su’ud al-Islamiyah, t.tp.), Jilid 7, h. 229.

[28]Lihat Ibn Taimiyah, Al-Fatawa al-Kubra, (Kairo: Dar al-Ma’rifah, t.tp), Jilid 18, h. 382.

[29]L. Amin Widodo, Fiqh Siyasah, h. 15-16.

[30]T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum Antar Golongan dalam Fiqh Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1971), h. 18-20.

BAB IV

HUBUNGAN DIPLOMATIK DAN SUAKA POLITIK

A. Pendapat Asy-Syaibani Tentang Konsep Pembagian Negara

Asy-Syaibani sebagai salah seorang tokoh peletak dasar hubungan internasional dalam perkembangan Islam, memiliki pendapat yang agak jauh berbeda mengenai konsep pembagian negara sebagaimana yang telah dibahas pada bab sebelumnya. Mengenai konsep pembagian negara pendapat Asy-Syaibani sebagaimana dikutip Muhammad Abu Zahra mengatakan bahwa yang menjadi pegangan dalam soal darul ‘ahdi adalah kekuasaan dan ketahanan dalam melaksanakan pemerintahan. Apabila suatu pemerintahan (suatu wilayah) di tangan bukan orang Islam yang ingin damai (muwadi’in), dengan keunggulan mereka atas golongan lain, jadilah wilayah yang mereka perintah itu darul ‘ahdi (muwadi’ah). Tetapi jika pemerintahan wilayah itu jatuh di tangan penguasa yang lain berada di luar wilayah itu, tidaklah dapat diberikan kepada seorang pun penduduk wilayah pertama status seorang yang berdiam di darul ‘ahdi.[1]

Di sini dapat dilihat bahwa Asy-Syaibani menegaskan kemungkinan adanya suatu darul selain dari darul harbi dan darul Islam, yaitu darul ‘ahdi atau muwada’ah (perdamaian) yang membawa pikiran baru yang belum melihat kemungkinan adanya penduduk yang suka damai (ahlul ‘ahdi) di bawah suatu negara bukan ‘ahdi.

Tujuan setiap negara di dalam hubungannya dengan negara-negara lain adalah mengarahkan dan mempengaruhi hubungannya supaya mempunyai tanggung jawab untuk menyusun formula politik dan mengatur hubungannya mancapai persahabatan dunia. Sebagaimana halnya Islam yang lebih mengutamakan perdamaian dan kerja sama dengan negara manapun. Karena itu, Allah tidak membenarkan umat Islam melakukan peperangan, apalagi menjadi agresor negara lain. Perang hanya diizinkan dalam situasi yang sangat terdesak dan hanya semat-mata untuk membela diri (defensif). Para ulama pun merumuskan sebuah kaedah dalam hubungan internasional, yaitu:

الأصل في العلاقة هوالسلم

“Pada dasarnya, landasan hubungan antar negara adalah perdamian”

Dasar diplomasi adalah komunikasi pikiran dan ide antara pemerintah negara-negara (dan pada batas-batas yang makin meningkat dengan organisasi-organisasi internasional), dan ini dapat dipengaruhi langsung oleh kepala berbagai pemerintahan atau tidak langsung lewat perantara korespondensi tertulis atau oleh seorang duta besar.

Sebagaimana pengertian diplomasi (diplomacy, Inggris) berasal dari bahasa Yunani Kuno, diploo=melipat; diploma=perjanjian atau perikatan atau surat kepercayaan. Pada mulanya, kata ini dipergunakan untuk menunjukkan suatu penandatanganan naskah perjanjian yang disepakati oleh dua pihak yang melewati jalan milik negara dan surat-surat jalan dicetak pada piringan logam dobel, dilipat dan dijahit menjadi satu dengan cara-cara tertentu. Surat jalan ini disebut “diplomas”.

Dalam perkembangannya, kata ini diserap ke dalam bahasa Latin dan digunakan untuk pengeritan perjanjian kerja sama bangsa Romawi dengan suku bangsa asing di luar Romawi. Dari peristiwa ini, lama kelamaan kata “diplomasi” dihubungkan dengan manajemen hubungan internasional.[2] Orang yang diutus oleh negara masing-masing untuk melakukan kerja sama dalam perjanjian ini dinamakan “diplomat”. Mereka memperoleh hak-hak istimewa dan perlindungan keamanan dalam melaksanakan tugas-tugas diplomatiknya di negara mana ia tempatkan. Menurut hukum internasional, mereka memiliki hak-hak kekebalan diplomatik, tidak tunduk pada hukum yang berlaku di negara ia bertugas.[3]

Dalam tatanan kehidupan dunia, tidak ada satu negara pun yang dapat mengisolasi diri dari pergaulan internasional. Jalinan kerja sama dan membuka hubungan diplomatik dengan negara lain sangat diperlukan untuk berbagai kepentingan mulai dari ekspor impor produksi dan rasa ketergantungan lainnya.

Menurut pakar hukum internasional dari Universitas Chicago, USA, Hans Magenthau menjelaskan empat tujuan yang dicapai suatu negara dalam diplomasi. Pertama, menetapkan tujuan-tujuan politik luar negeri negara yang bersangkutan; kedua, mempertimbangkan tujuan politik luar negeri negara sahabatnya dan kemampuan untuk mencapainya; ketiga, menetapkan seberapa jauh perbedaan tujuan kedua negara tersebut dapat dipertemukan; keempat, setelah terdapat kesamaan pandangan antara kedua negara, barulah ditetapkan cara dan sarana yang tepat untuk mencapai tujuan tersebut.[4]

Diplomat merupakan wakil simbolis untuk negaranya. Karenanya, diplomat harus menjalankan fungsi untuk mempertahankan martabat dan kehormatan negaranya. Dalam fungsi politis, diplomat merupakan perpanjangan tangan negara untuk menentukan kebijakan luar negerinya. Diplomat negara juga merupakan wakil sah dari negaranya dalam arti yang seluas-luasnya dalam arti dapat menginformasikan perkembangan yang terjadi di negara tempat ia bertugas, sehingga negaranya bisa pula menentukan sikap dan kebijakan terhadap negara sahabatnya secara tepat. Kantor kedutaan besar negaranya di negara lain merupakan simbol suatu negara di luar negeri. Melalui kedutaan besarnya ini pula diplomat menjadi mediator antara negara yang diwakilinya dengan negara yang menerimanya. Ia diberi kekuasaan penuh untuk menandatangani suatau perjanjian atau meneruskan dan menerima dokumen-dokumen ratifikasi dari sebuah perjajian, seperti dalam bidang ekonomi, politik, sosial budaya dan pertahanan keamanan. Oleh karena itu, sebagai tangan, kaki dan telinga di luar negeri bagi negara asalnya, diplomat harus memainkan fungsi politiknya dengan baik, sehingga hubungan diplomatik dengan negara sahabatnya dapat terbina dengan baik pula.[5]

Menurut Konvensi Wina 18 April 1961 yang mengatur hubungan internasional, korps diplomatik memiliki hak kekebalan pribadi dan ekonomi. Dalam hak-hak pribadi, jiwa dan harta diplomat asing harus dilindungi supaya ia dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Sementara hak-hak ekonomi, diplomat harus dibebaskan dari bea cukai dan pajak dalam batas-batas tertentu.

Jika merujuk ke belakang, 11 abad jauh sebelum Konvensi Wina diratifikasi, Asy-Syaibani sebagai orang pertama yang menulis masalah hukum internasional dalam studi sistematis pada bukunya As-Siyar as-Sagir dan as-Siyar al-Kabir membicarakan masalah tersebut dan mempunyai pandangan yang sama. Dalam hal ini Asy-Syaibani menekankan pentingnya mematuhi pakta-pakta perdamaian yang telah disepakati bersama, apa pun ideologi dan kepercayaan negara tersebut. Negara Islam tidak boleh memutuskan hubungan diplomatik dengan negara lain secara sepihak. Di samping itu, negara Islam juga wajib menghormati duta negara asing yang ditempatkan di negara Islam. Harta, jiwa, dan keluarganya harus dilindungi. Selanjutnya dinyatakan Asy-Syaibani dalam kitab as-Siyar al-Kabir:

ولوأن رسول ملك أهل الحرب جاءإلى عسكرالمسلمين فهوآمن حتى يبلغ رسالته بمنزلة مستأمن جاء للتجارة لأفى مجئ كل واحد منهما منفعة للمسلمين.[6]

Kalau negara asing membebaskan duta negara Islam dari pajak impor dan pajak-pajak lainnya, maka duta negara tersebut juga harus diberi keistimewaan yang sama.

Membicarakan hubungan antara negara Islam dan negara-negara non muslim, baik dalam masa perang maupun damai. Dalam masa perang Asy-Syaibani menekankan pandangannya pada prinsip etika Al-Quran dan Sunnah. Ia berpendapat bahwa peperangan hanya diizinkan dalam kondisi darurat dan untuk tujuan mempertahankan diri (defensif), bukan untuk menjadi negara penghancur (agresor) atau mengganggu kedaulatan negara lain (ofensif). Kalau pun terjadi peperangan, ia menekankan bahwa tentara Islam tidak dibenarkan membunuh anak-anak, wanita, dan orang tua renta., membakar negeri musuh atau menebang pohon, serta hal-hal yang sifatnya merusak (destruktif). Bahkan melalui jalinan kerja sama dengan berbagai negara, umat Islam atau dar al-Islam diharapkan dapat menampilkan sosok Islam yang simpatik dan sejuk, sehingga menarik hati pihak lain untuk menerimanya dengan kesadaran sendiri.

B. Argumentasi Asy-Syaibani Terhadap Masalah Perlindungan Warga Negara Asing (Suaka Politik).

Perlindungan warga negara dalam masalah ini lebih dikenal dengan istilah suaka atau Asy-Syabani menyebutnya dengan istilah musta’min (مستأمن). Pada prinsipnya, Islam tidak menghalangi penduduk dari dar al-harb untuk minta perlindungan (suaka) ke dar al-Islam. Hal ini ditegaskan sendiri oleh Allah dalam Al-Quran surat at-Taubah, 9: 6. Ayat ini menjelaskan bahwa kalau ada orang musyrik yang datang memohon suaka, maka ia harus diterima dan dilindungi. Setelah itu, ia dapat dikembalikan ke daerah yang aman bagi jiwanya. Keizinan untuk mendapat suaka dari dar al-Islam hanya berlaku untuk beberapa waktu tertentu saja. Demikian asy-Syaibani berpendapat:

قال: رجل من المسلمين أمن قومامن المشركين، فاغاز عليهم أخرون من المسلمين فقثلوا الرجال وأصابوا النساء والأموال فاقثسموها،...[7]

Terhadap masalah suaka politik antara pengusiran dan pengasingan penjahat perlu dibedakan antara penjahat dari penduduk negeri darul Islam dan penjahat dari darul harbi. Penjahat dari orang-orang muslim atau zimmi penduduk darul Islam secara teori fiqh siyasah antar negeri darul Islam dipandang sebagai negeri sendiri, negara dan pemerintahannya adalah merupakan wakil mutlak bagi negara dan pemerintahannya sendiri, baik bagi muslim maupun zimmi. Oleh karena itu tidak dibenarkan menghalang-halangi atau melarang rakyat penduduk antar negeri darul Islam untuk memasuki daerah antar negeri tersebut atau mungkin mengusir atau mengasingkan. Terhadap mereka dibiarkan menetap di negeri kediamannya sendiri maupun di daerah lain dari negeri darul Islam.[8]

Perlindungan warga negara asing dan penyerahannya menurut Widodo memiliki pandangan hampir sama dengan Asy-Syaibani yang menyebut bahwa Islam tidak membenarkan bagi penguasa negara darul Islam tidak dibenarkan menyerahkan rakyatnya baik muslim atau zimmi untuk diperiksa perkaranya di darul harbi mengenai tindak kejahatan yang telah dilakukan di negara itu dan demikian juga halnya tidak diperbolehkan bagi penguasa negara darul Islam menyerahkan rakyatnya yang bersembunyi di negara darul Islam kepada penguasa darul harbi untuk diperiksa perkaranya, hanya karena mereka ini dipandang dari segi kaedah hukum Islam wajib dihukum sebagai rakyatnya sendiri. Dan hukum Islam tidak membenarkan bagi penguasa darul Islam menyerahkan muslim yang berstatus warga negara darul harbi sekalipun diminta oleh penguasa darul harbi, selama belum ada perjanjian damai sesuai dengan ketentuan hukum internasional mengenai perjanjian untuk menyerahkan warga negaranya. Jika telah ada perjanjian itu, maka wajiblah dipenuhi, kecuali jika terdapat syarat-syarat yang batal dan dipandang persetujuan itu tidak sah, dan dipandang pula batal apabila segala syarat dalam persetujuan damai itu mengharuskan menyerahkan wanita-wanita yang berhijrah ke darul Islam, baik sebelum persetujuan maupun sesudahnya. Wanita Islam dalam keadaan manapun atau kapan pun tidak boleh diserahkan kepada darul harbi meskipun wanita itu berstatus warga negara dari negara darul harbi yang memintanya. Ketentuan ini didasarkan sebagaimana firman Allah dalam surat al-Mumtahanah ayat 10:[9]

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ ...

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.... Oleh karena itulah Asy-Syabani sebagai tokoh Islam peletak dasar hubungan/hukum internasional mencetuskan adanya suatu darul selain dari adanya darul Islam dan darul harbi sebagaimana telah dijelaskan sebagaimana sebelumnya.

Terhadap harta bukan orang Islam yang ingin damai (mu’ahidin) Asy-Syabani menandaskan lagi sebagai berikut:

قال: وإذاأودع المسلمون قومامن المشركين فليس يحل لهم أن يأخذواشئامن أموالهم إلابطيب أنفسهم، للعهد الذي جرى بينناوبينهم. فإن ذالك العهد فى حرمة التعرض للأموال والنفوس بمنزلة الإسلام. فكمايحل شئ من اموال المسلمين إلابطيب أنفسهم فكذالك لايحل شئ من اموال المعاهدين.[10]

Selanjutnya Asy-Syabani mengatakan bahwa bagi orang yang membunuh ahlul harbi sedang ia meminta perlindungan maka baginya dikenakan kafarat.

قال: وإذ أسلم رجل من أهل الحرب فقتله رجل من المسلمين قبل أن يخرج إلى دارالإسلام خطأ فعليه الكفارة ولا دية.[11]

Namun sebagaimana perkembangan globalisasi saat ini yang semakin modern yang seolah-olah tidak lagi mengenal batas ruang dan waktu, seiring dengan itu pula makna suaka (perlindungan) berkembang, diantaranya suaka politik.

Kajian perkembangan hubungan internasional mulai dahulu hinggi kini dapat diklasifikan dalam dua hal, yaitu hubungan internasional di waktu damai dan di waktu perang. Damai dijadikan sebagai asas dalam hubungan internasional karena masalah yang paling intensif didiskusikan para ulama adalah pertanyatan: “Apakah hukum asal hubungan internasional itu: perang atau damai?”

Abdul Wahab Khallaf menjelaskan tentang diskusi para ulama tentang hal-hal tersebut, yang akhirnya terbagi dua kelompok. Kelompok pertama mengacu pada ayat-ayat perang yang intinya adalah asal hubungan internasional adalah perang (الاصل في العلاقة الحرب), sedangkan kelompok kedua berpendapat sebaliknya: hukum asal hubungan internasional adalah damai (الاصل في العلاقة السلم).[12]

Sebagaimana telah disinggung sebelumya bahwa bukan tidak boleh adanya perang, peperangan bisa terjadi melainkan dalam kondisi darurat, Artinya perang bukan merupakan hukum asal (azimah), sesuai dengan kaedah-kaedah fiqh. Perlu digarisbawahi bahwa umumnya perang sejak dahulu hingga kini menjadi sesuatu yang tidak diharapkan. Namun apabila kemungkinan terjadi dengan alasan yang dibenarkan dan adil, seperti mempertahankan diri (ofensif), maka perang mempertahankan negeri sendiri lebih baik daripada jatuh kepada penjajahan asing.[13] Seperti diisyaratkan Al-Quran dalam Surat Al-Baqarah ayat 216:

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ.

Artinya: Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.

Jika darah manusia sudah dianggap tak berharga dan umat Islam diperangi, dalam usaha membela diri maka perang menjadi wajib hukumnya dan haram hukumnya bagi umat Islam berdiam diri dan menerima penjajahan begitu saja. Dalam kondisi demikian tingkat daruriyah itu sangat nyata: pilihannya hanya dua membunuh atau dibunuh (to kill or to be killed).[14] Oleh sebab itu ditegaskan dalam Surat al-Hajj ayat 39:

أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ. الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ إِلا أَنْ يَقُولُوا رَبُّنَا اللَّهُ

Artinya: Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena Sesungguhnya mereka telah dianiaya. dan Sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu, (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan Kami hanyalah Allah".

Dengan adanya prinsip hubungan internasional di waktu perang sebagaimana di atas, kemungkinan dampak yang ditimbulkan bisa saja para penduduk (warga negara) yang salah sasaran alias korban dari akar masalah peperangan sehingga mengungsi ke negara lain dengan alasan meminta perlindungan (suaka).

C. Suaka Politik Dalam Hukum Internasional

Perlu diketahui bahwa secara historis, istilah suaka (asylum) mulai timbul dan sering terjadi di negara-negara Amerika Latin sehingga kebiasaan-kebiasaan ini dapat digolongan pada kebiasaan internasional regional yakni kebiasaan internasional yang berasal dari daerah tertentu atau kawasan tertentu dalam hal ini yakni negara-negara Amerika Latin.[15]

Suaka berasal dari bahasa Yunani yakni “asylon” atau “asylum” dalam bahasa Latin, yang artinya tempat yang tidak dapat dilanggar di mana seseorang yang dikejar-kejar mencari tempat berlindung. Masalah permintaan suaka ini dan pemberian suaka bukanlah muncul pada beberapa tahun ini saja. Untuk waktu yang lama, suaka diberikan kepada pelarian pada umumnya, terlepas dari sifat perbuatan atau tindak pidana yang dilakukan oleh pencari suaka yang menyebabkannya dikejar-kejar. Dalam waktu yang lama pelaku tindak pidana biasa pun, yang mendapat suaka di negara lain, tidak diekstradisikan.

Keadaan ini baru berubah pada abad ke-17, di mana berbagai pakar hukum internasional Belanda yang terkenal Grotius, menggariskan perbedaan antara tindak pidana politik dan tindak pidana biasa dan menyatakan bahwa suaka hanya dapat diklaim oleh mereka yang mengalami penuntutan (presecution) politis atau keagamaan. Sejak abad pertengahan ke-19 sebagian besar perjanjian ekstradisi mengakui prinsip non ekstradisi bagi tindak pidana politik, kecuali yang dilakukan terhadap kepala negara.[16]

Secara terminologi suaka politik adalah perlindungan yang diberikan oleh suatu negara kepada orang asing yang terlibat perkara/kejahatan politik di negara lain atau negara asal pemohon suaka. Kegiatan politik tersebut biasanya dilakukan karena motif dan tujuan politik atau karena tuntutan hak-hak politiknya secara umum. Kejahatan politik ini pun biasanya dilandasi oleh perbedaan pandangan politiknya dengan pemerintah yang berkuasa, bukan karena motif pribadi. Suaka politik merupakan bagian dari hubungan internasional dan diatur dalam hukum internasional atas dasar pertimbangan kemanusiaan. Setiap negara berhak melindungi orang asing yang meminta suaka politik.[17]

Masalah suaka terdapat kaitannya dengan masalah ekstradisi, dan deportasi. Kebebasan suatu negara untuk memberikan suaka kepada seseorang sampai batas tertentu saling tumpang tindih dengan kekuasaan untuk menolak ekstradisi dan penyerahan orang itu atas permintaan negara lain, dan saling tumpang tindih itu terlihat sekali dalam pemberian suaka kepada tokoh-tokoh politik, yang menurut ketentuannya tidak dapat diekstradisikan.[18]

Konsepsi suaka (asylum) dalam hukum internasional meliputi dua unsur:

1. Tempat perlindungan (shelter), yang lebih dari pengungsian sementara semata-mata; dan

2. Suatu tingkat perlindungan aktif dari pihak penguasa wilayah tempat suaka.

Oleh karena itu, dalam konteks perkembangan hukum internasional, suaka dapat merupakan suaka wilayah (territorial asylum), yaitu perlindungan yang diberikan oleh suatu negara di wilayahnya. Sebagai contoh, Indonesia memberi suaka politik kepada orang asing yang masuk ke Indonesia. Sedangkan suaka ekstra-teritorial (diplomatic asylum), yaitu suaka yang diberikan oleh suatu kedutaan besar kepada orang yang bukan warga negaranya. Contoh suaka ini adalah orang asing yang memasuki wilyah Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di luar negeri, atau Warga Negara Indenesia yang masuk kedutaan asing di Jakarta.

Perbedaan prinsip antara kedua jenis ini mengalir dari fakta bahwa kekuasaan untuk memberikan suaka teritorial merupakan suatu peristiwa yang terjadi di dalam wilayahnya sendiri. Contoh suaka wilayah, ada banyak dan kelompok-kelompok pengungsi politik terdapat di banyak negara; tetapi, karena mereka bertempat tinggal di negeri lain, mereka tidak merupakan suatu ancaman besar bagi pemerintahannya sendiri.

Suatu situasi timbul dalam hal suaka diplomatik, di mana lawan politik dapat bertempat tinggal yang terlindung dan tidak dapat diganggu di tengah-tengah rakyatnya, dan dapat diharapkan, rakyat itu hendak diadu melawan pemerintahannya sendiri. Tidak dapat digangu gugatnya kompleks misi diplomatik menyebabkan misi demikan semenjak dahulu dicari sebagai tempat perlindungan.

Suaka politik jenis pertama mendapat jaminan dalam hukum internasional. Setiap warga negara berhak memberikan perlindungan politik kepada warga negara asing. Negara asal pencari suaka tersebut hanya dapat mengajukan permohonan pengembalian atau ekstradisi melalui saluran-saluran diplomatik. Sedangkan terhadap suaka politik jenis kedua (diplomatic asylum), hukum internasional tidak mengakui adanya hak kepala perwakilan suatu negara (duta besar) untuk memberi jaminan keamanan terhadap orang asing di gedung kedutaan besarnya, karena hal ini menyebabkn terbebasnya ia dari hukum dan keadilan di negara asalnya. Meskipun demikian, seorang kepada pemerintah setempat, bila tidak ada perjanjian antara kedua negara yang mengharuskannya untuk menyerahkan pencari suaka tersebut (ekstradisi).

Ada perbedaan prinsip dalam pemberian suaka ini. Dalam suaka teritorial, kekuasaan memberikan suaka merupakan hak dan atribut kedaulatan negara yang besangkutan sedangkan dalam suaka ekstrateritorial, kekuasaan memberikan suaka mengesampingkan kedaulatan teritorial negara. Artinya, seorang duta besar boleh memberikan perlindungan di gedung kedutaan besarnya kepda pemohon suaka, tanpa harus meminta persetujuan terlebih dahulu kepada kepala negaranya. Dalam hal ini ia berkuasa penuh menentukan layak tidaknya seseorang diberikan perlindungan.

Di samping dua suaka di atas, masih ada lagi satu bentuk suaka politik, yakni suaka netral (netral asylum) dalam suaka bentuk ini, pemohon suaka tidak memasuki kedutaan asing atau lari ke suatu negara tetapi ia memilih tempat perlindungan ke gedung lembaga-lembaga internasional, seperti perwakilan PBB di Jakarta atau gedung Sekretariat ASEAN. Ia meminta suaka kepada pejabat lembaga-lembaga tersebut.

Konsep suaka politik dalam hukum intenasional meliputi unsur pemberian naungan bersifat lebih dari pelarian sementara dan unsur-unsur pemberian perlindungan secara aktif oleh pembesar-pembesar negara yang memberi suaka. Orang yang mendapat suaka politik secara prinsip tidak dapat dikembalikan ke negara lain, kecuali negara yang meminta pemulangannya (ekstradisi) tersebut mengemukakan alasan-alasan logis agar peminta suaka diserahkan kembali. Pengembalian pemohon ini juga dapat dilakukan apabila sebelumnya antara negara yang melindungi dan negara tempat pelariannya memiliki perjanjian ekstradisi.

Pandangan ulama mengenai masalah suaka politik berpangkal dari pembagian mereka tentang dua negara (dunia), yaitu dar al-Islam dan dar al-harb, sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya. Di samping itu, mereka juga bercermin pada praktik Nabi dalam hubungan internasional. Dari pembahasan mereka tentang hal itu, ulama kemudian merumuskan pendapat mengenai warga negara yang meminta suaka politik ke dar al-Islam.

Namun para ulama berbeda pendapat tentang berapa lamanya waktu mereka boleh menetap di dar al-Islam. Abu Hanifah dan sebagian ulama mazhab Hanbali berpendapat bahwa keizinan tinggal bagi pemohon suaka hanya berlaku selama setahun saja. Sedangkan Syafi’i berpendapat bahwa mereka diizinkan tinggal di dar al-Islam selama empat bulan saja, kecuali bila kepala negara memandang perlu untuk memperpanjang izin tinggalnya. Sementara Malik berpendapat bahwa keizinan tinggal mereka tidak dibatasi oleh waktu.

Dari pendapat-pendapat tersebut di atas dapat ditarik benang merah bahwa pemberian suaka bisa dilakukan kepada dua bentuk, yaitu jaminan keamanan yang tetap (mu’abadah) sebagaimana pendapat Malik dan yang sementara (mu’aqqatah) seperti pandangan Abu Hanifah, Syafi’i dan sebagian pengikut Ahmad ibn Hanbal. Pencari suaka yang menetap hanya sementara adalah orang-orang non-muslim. Merekalah yang mendapat keizinan sementara untuk tinggal di dar al-Islam. Setelah habis waktunya, mereka dapat meninggalkan dar al-Islam. Bahkan kepala negara berhak mempercepat izin tinggal mereka sebelum habis waktunya kalau memang dipandang perlu. Dalam hal ini, mereka harus dikembalikan ke tempat yang aman, sebagaimana ditegaskan dalam surat at-Taubah di atas.

Sedangkan warga negara lain yang muslim yang berlindung ke dar al-Islam dapat menetap untuk selamanya. Demikian pula halnya dengan orang non-muslim yang mencari perlindungan di dar al-Islam dan berpindahnya ia ke agama Islam, maka statusnya pun berubah menjadi warga negara dar al-Islam, bukan lagi musta’min. Ia harus diperlakukan dan mempunyai hak serta kewajiban sama seperti warga negara lainnya yang beragama Islam. Abu Hanifah menegaskan bahwa jiwa dan hartanya harus dilindungi.[19]

Mereka yang mendapat suaka dari dar al-Islam harus dilindungi keselamatan jiwa dan hartanya dari ganggunan dalam maupun luar negeri. Sebagai imbangnya, ia wajib mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku di dar al-Islam. Tentang hal ini semua ulama sepakat berpendapat demikian. Dalam hal ini Asy-Syaibani berkata:

ولوأن رهطا من المسلمين أتواأول مسالح أهل الحرب فقالوا: نحن رسول الخليفة. وأخرجواكتابايشبه كتاب الخليفة، أولم يخرجوا، وكان ذالك جديعة منهم للمشركين. فقالوالهم: أدخلوا. فدخلوادارالحرب. فليس يحل لهم قتل أحد من أهل الحرب، ولاأخذ شئ من أموالهم ماداموافى دارهم.[20]

Namun dalam hal apa saja yang harus mereka patuhi, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jumhur ulama berpandangan bahwa mereka bebas menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinannya. Dalam masalah mu’amalah maliyah (hubungan antara sesama manusia yang bersifat kebendaan), jumhur ulama menetapkan bahwa mereka harus mengikuti ketentuan dan hukum yang berlaku dalam dar al-Islam. Mereka tidak boleh melakukan praktek riba, menipu dan perilaku bisinis lainnya yang tidak dibenarkan agama Islam.

Dalam masalah jarimah (tindak pidana), Abu Hanifah berpendapat bahwa mereka hanya diwajibkan mematuhui hukum-hukum yang berhubungan dengan hak-hak manusia saja (huquh al-‘ibad), yaitu tindak pidana yang secara langsung menimpa manusia sebagai korbannya. Sedangkan dalam masalah tindak pidana yang berhubungan dengan hak-hak Allah (huquq Allah), kepada mereka tidak dapat dikenakan sanksi hukum Islam. Mereka dapat dijatuhu hukuman sebagaimana ditetapkan dalam hukum Islam bila melakukan tindak pidana seperti mencuri, merampok, membunuh dan menuduh orang lain berzina. Mereka dapat dikenai hukuman hudud dan qisas terhadap kejahatan-kejahatan tersebut. Namun mereka tidak dapat dijatuhi hukuman hudud lainnya bila melakukan kejahatan seperti meminum khamr atau berzina.

Akan tetapi pendapat Abu Hanifah di atas ditolak oleh muridnya sendiri, Abu Yusuf. Menurutnya, semua hukum pidana Islam dapat dikenakan sanksi kepada mereka, baik yang berkenaan dengan hak-hak manusia maupun hak Allah. Mereka tidak bisa bebas berebuat menurut kemauannya sendiri. Oleh karena itu, kalau orang yang mendapat perlindungan di darl al-Islam melakukan tindak kriminal, kepadanya juga harus dijatuhkan hukuman sesuai dengan hukum pidana Islam.

Sering terjadi dalam hubungan internasional, negara asal pelarian politik meminta kepada negara yang memberi suaka supaya pelarian tersebut diserahkan (diekstradisi) kembali ke negara asalnya. Dalam hal ini, pelarian tersebut tidak dapat dikembalikan ke negara asal tersebut, kecuali ada perjanjian sebelumnya antara kedua negara tentang ekstradisi (dalam konteks hubungan bilateral). Dalam sejarah Islam, Nabi Muhammad Saw., selaku kepala negara Madinah pernah mengadakan perjanjian Hudaibiyah dengan kaum Quraisy Mekah. Salah satu butir perjanjian tersebut adalah penyerahan kembali penduduk Mekah yang melarikan diri ke Madinah meminta perlindungan kepada Nabi, karena mereka telah memeluk Islam dan disiksa di Mekah. Namun demi menghormati perjanjian ini, Nabi tidak dapat memberikan perlindungan kepada mereka, dan mereka terpaksa dikembalikan ke Mekah.

Menurut Ali Ali Mansur, untuk menyerahkan kembali ke negara asal orang yang meminta perlindungan di dar al-Islam, haruslah dipenuhi empat syarat. Pertama, kejahatan yang dilakukannya bersifat subversif dan sangat membahayakan negara. Kedua, baik negara asal maupun negara pemberi suaka sama-sama memandang bahwa kejahatan yang dilakukan peminta suaka harus dihukum dengan ancaman hukuman. Kalau negara pemberi suaka tidak memandang kejahatannya sebagai tindak pidana, maka ia tidak dapat dikembalikan ke negara asalnya. Ketiga, pelaku yang meminta suaka adalah orang yang memang dapat diserahkan oleh negara pelindung. Keempat, sebelum diserahkan, harus ada jaminan dari negara yang meminta ekstradisi bahwa pelaku akan diproses dan dihukum sesuai dengan isi tuntutan yang termaktub dalam alasan ekstradisi. Hal ini dimaksudkan agar penyerahan peminta suaka ke negara asalnya benar-benar memenuhi rasa keadilan dan hak asasinya, sehingga ia tidak dirugikan. Rasa keadilan itu berpangkal dari pokok pikiran yang terdapat dalam firman Allah surat al-Anfal ayat 58 yang berbunyi:

وَإِمَّا تَخَافَنَّ مِنْ قَوْمٍ خِيَانَةً فَانْبِذْ إِلَيْهِمْ عَلَى سَوَاءٍ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْخَائِنِينَ (٥٨)

Artinya: Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, Maka kembalikanlah Perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.

Dalam penyerahan pelarian politik ini, juga terdapat perbedaan antara penyerahan ke dar al-Islam dan ke dar al-harb. Kalau yang memohon ekstradisi adalah negara Islam juga, maka ia dapat diserahkan kembali ke negara asalnya. Penyerahan ini tidak memandang apakah pelarian itu muslim atau bukan. Akan tetapi, kalau negara yang memohon adalah dar al-harb, maka pelarian tersebut tidak boleh dikembalikan. Jumhur ulama juga berpendapat bahwa wanita muslimah tidak boleh kembalikan ke dar al-harb. Hal ini ditegaskan sendiri oleh Al-Quran surat al-Mumtahanah, 60:10 yang melarang suaka kepada dar al-Islam (Negara Madinah) ke dar al-harb (Mekah), walaupun mereka memiliki keluarga di sana.

Perbedaan pendapat terjadi dalam masalah pengembalian pria muslim ke dar al-harb setelah adanya perjanjian esktradisi. Menurut Ahmad ibn Hanbal dan sebagian pengikut Malik, perjanjian harus dilaksanakan dan pria muslim tersebut harus dikembalikan ke dar al-harb, negara asalnya. Pendapat ini dilandasi oleh praktik ekstradisi yang dilakukan oleh Nabi dalam perjanjian Hudaibiyah, sebagaimana diungkapkan di atas. Sedangkan Abu Hanifah dan sebagian pengikut mazhab Maliki lainnya berpandangan bahwa syarat perjanjian tersebut batal dan priamuslim pencari suaka tersebut tidak boleh dikembalikan ke dar al-harb. Hal ini dikarenakan oleh keselamatan jiwa pemohon suaka yang tidak terjamin apabila ia dikembalikan ke dar al-harb. Sementara mazhab Syafi’i berpendapat bahwa penyerahan pemohon suaka ke negara asalnya tergantung apakah ia memiliki kelaurga tau tidak di dar hal tersebut. Kalau ia memiliki keluarga, maka ia dapat diekstradisi. Tapi kalau ia tidak mempunyai keluarga di sana, ia tidak dapat dikembalikan. Pertimbangannya adalah bahwa keluarganya merupakan pihak yang paling bertanggung jawab atas jaminan keselamatannya. Dengan demikian, keluarganya akan membela dan memperjuangkannya agar tida tidak diperlakukan semena-mena dan diproses secara adil. Sedangkan kalau ia memiliki keluarga di dar al-harb, kemungkinan jiwanya tidak akan aman dan ia akan dia akan mengalami ketidakadilan.

D. Analisa Penulis

Tampaknya pembagian fuqaha dahulu tentang dunia ini yang membaginya kepada darul Islam dan darul harbi sudah mulai ditinggalkan. Pembagian darul Islam dan darul harbi memang tepat sekali sesuai dengan situasi dan kondisi pada waktu fuqaha hidup yang dihadapkan kepada ancaman-ancaman perang dari dunia luar. Sehingga umat Islam terpaksa berperang untuk mempertahankan diri. Di dalam suasana perang, menyerang adalah pertahanan terbaik. Itulah yang dilakukan umat Islam pada waktu itu.

Walaupun demikian, ada ulama yang membagi dunia ini kepada tiga kelompok, yatu: darul Islam, darul ‘ahdi, dan darul harbi. Sebagaimana pendapat Asy-Syaibani Darul ‘ahdi adalah negara-negara yang berdamai dengan darul Islam. Dengan perjanjian tersebut, maka semua penduduk darul ahdi tidak boleh diganggu jiwanya, hartanya, dan kehormatan manusianya. Meskipun penduduknya tidak beragama Islam, mereka diperlakukan seperti orang Islam dalam arti dilindungi hak-haknya.[21]

Sebagaimana menurut A. Djazuli mengenai pembagian dunia pada masa sekarang adalah:

  1. al-alam Islami (dunia Islam) yang terdiri dari:

a. dawlah Islamiyah (negara Islam/Islamic states),

b. baldah Islamiyah (negeri muslim/negara yang mayoritas penduduknya muslim/muslim countries)

  1. al-alam al-ahdi: negara-negara yang berdamai dengan negara Islam. Jihad lebih diarahkan kepada perjuangan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perjuangan menuju ketakwaan kepada Allah SWT. Dan perjuangan untuk tercapainya dunia yang damai, aman dan makmur material dan spiritual sesuai dengan firman Allah:[22]

هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الأرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَاسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ إِنَّ رَبِّي قَرِيبٌ مُجِيبٌ.

Artinya: Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya[23][726], karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku Amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)." Ayat ini mengisyaratkan bahwa Allah yang menciptakan manusia dari bumi dan menguasai manusia untuk memakmurinya.

Perang bisa saja timbul sekali-kali. Akan tetapi, yang diharapkan oleh adalah mengurangi dan menghindari terjadinya perang. Kalau mungkin, menghilangkannya. Sekalipun perang sering dianggap sebagai sesuatu yang tida baik, tetapi terpaksa harus dilaksanakan dalam kondisi-kondisi di dalam dan luar negeri tertentu.

Pembagian di atas merupakan bukanlah pembagian yang permanen, artinya bisa terjadi perubahan status dari negara-negara yang ada di dunia tergantung kepada perubahan-perubahan yang terjadi di dalam negeri masing-masing.

Antara darul Islam, darul harbi, kemudian darul ‘ahdi, relevansinya terhadap pengertian suaka teritorial, suaka diplomatik dan suaka netral dapat ditinjau pada kondisi ketika pesuaka memasuki negara yang ingin menjadi tujuannya. Relevansi pemikiran Asy-Syaibani terhadap suaka politik dalam hukum internasional terlihat pada konsepnya darul ‘ahdi sebagaimana yang telah dikemukakan sesungguhnya memiliki kontribusi sangat tepat bila kajian tentang perlindungan warga negara (suaka) dilibatkan dalam hubungan internasional bilateral maupun multilateral. Sebab semua yang dilakukan harus berdasarkan perjanjian asalkan tujuan untuk perdamaian. Apapun bentuk dan jenis suaka, jika sebelumnya tidak ada perjanjian, maka akan dikhawatirkan nanti timbulnya oknum atau pun organisasi yang ingin sengaja atau menghindarkan diri dari hukuman apabila terlibat sesuatu perkara, istilahnya saat oknum yang tidak dikenal (black id).



[1]Muhammad ibn Ahmad al-Syaibani, Kitab al-Siyar al-Kabir, (Kairo: Syirkah Misriyah, 1958), Jilid I, h.133. Lihat juga Muhammad Abu Zahra, Hubungan Internasional Dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 62.

[2]S.L. Roy, Diplomacy, diterjemahkan oleh Harwanto dan Mirsawati, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 1-2.

[3]Abdul Aziz Dahlan, et. al, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ikhtiar van Hoeve, 1995), h. 273.

[4]Hans. J. Magenthau, Politk Antarbangsa, terjemahan dari Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991), h. 286.

[5]Ibid., h. 299.

[6]Muhammad ibn Ahmad al-Syaibani, Kitab al-Siyar al-Kabir, Jilid II, h. 515.

[7]Ibid., Jilid I, h.258.

[8]L. Amin Widodo, Fiqh Siyasah Dalam Hubungan Internasional (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), h. 37.

[9]Ibid., h. 34.

[10]Ibid., h. 133.

[11]Ibid., h. 126.

[12]Alasan kelompok pertama di dasarkan pada al-Quran Surat al-Hud: 61, al-Baqarah; 216, an-Nisa: 74, al-anfal: 65, at-Taubah: 29. Selain itu juga bersandarkan kepada hadis Nabi yang bersabda: “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia samai mereka mengucapkan syahadat, melaksanakan shalat, dan mengeluarkan zakat. (HR. Bukhari-Muslim). Sedangkan kelompok kedua beralasan perang itu diperkenankan karena ada sebabnya, yaitu menolak kezaliman menghilangkan fitnah, dalam rangka mempertahankan diri. Hal ini didasarkan pada al-Quran surat al-Baqarah: 190-191, an-Nisa: 75, al-Anfal:39 dan al-Hajj:39. Lihat Abdul Wahab Khallaf, Al-Siyasah al-Syariah, (Dar al-Ansar: Kairo, 1997), h. 73.

[13]A. Djazuli, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu Syariah (Jakarta: Kencana, 2003), h. 142.

[14]Daruriyah adalah suatu hal yang mutlak dibutuhkan manusia demi kemaslahatan hidupnya. Jika tidak tercapai, maka kehidupan manusia akan kacau dan kemaslahaannya pun tidak terwujud. Yang termasuk wajib dipelihara dalam tingkatan daruri ini adalah agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Lihat Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh (Jakarta: al-Majlis al-A’la al-Indunisi li al-da’wah al-Islamiyah, 1392 H), h. 199-200.

[15]Sanwani Nasution, Beberapa Pokok dan Masalah Hukum Internasional (Medan: Fakultas Hukum USU, 1977), h. 29-30.

[16]Enny Soeprapro, Konsep Perlindungan Pengungsi dan Pelaksanannya, makalah disampaikan pada Seminar Internasional “Refugee And Human Rights Protection” diselenggarakan atas kerjasama Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala dan UNHCR, Darussalam, Banda Aceh, 11-12 November 1998, h. 21.

[17]Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah; Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam (Jakarta: Grafindo Media Persada, 2001), h. 265.

[18]J.G. Starke, Introduction to International Law diterjemahkan oleh Bambang Iriana Djajaatmaja buku kedua edisi ke-10 (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h. 469.

[19]Muhammad ibn Ahmad al-Syaibani, Kitab al-Siyar al-Kabir, Jilid I, h.163.

[20]Ibid., Jilid II, h. 507.

[21]Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani, as-Siyar al-Kabir (Kairo: Syirkah Misriyah, 1958), h. 133-265

[22]A. Djazuli, Fiqh Siyasah, h. 132.

[23]Manusia dijadikan penghuni dunia untuk menguasai dan memakmurkan dunia

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya, diperoleh kesimpulan yang merupakan jawaban dari rumusan masalah pada bab pertama, yaitu:

Konsep pembagian negara meliputi tiga kelompok, yaitu: darul Islam, darul harbi, dan darul ahdi, Asy-Syaibani memiliki pandangan bahwa darul ‘ahdi adalah kekuasaan dan ketahanan dalam melaksanakan pemerintahan. Apabila suatu pemerintahan (suatu wilayah) di tangan bukan orang Islam yang ingin damai (muwadi’in), dengan keunggulan mereka atas golongan lain, jadilah wilayah yang mereka perintah itu darul ‘ahdi (muwadi’ah). Tetapi jika pemerintahan wilayah itu jatuh di tangan penguasa yang lain berada di luar wilayah itu, tidaklah dapat diberikan kepada seorang pun penduduk wilayah pertama status seorang yang berdiam di darul.

Asy-syaibani mengemukakan argumentasinya bahwa dengan adanya perjanjian antara darul ‘ahdi (negara-negara yang yang berdamai) dengan darul Islam, maka semua penduduk darul ‘ahdi tidak boleh diganggu jiwanya, hartanya, dan kehormatan kemanusiannya. Meskipun penduduknya tidak beragama Islam, mereka diperlakukan seperti orang Islam dalam arti dilindungi hak-haknya.

Relevansi dan kontribusi pemikiran asy-Syaibani terhadap masalah suaka politik dalam hubungan internasional saat ini berdasarkan kajian tentang perlindungan warga negara (suaka) dilibatkan dalam perjanjian hubungan internasional bilateral maupun multilateral. Pandangannya yang berpedoman kepada surat at-Taubah ayat 26, bahwa orang musyrik dari negara asing yang meminta perlindungan (suaka) ke negara Islam wajib diberi perlindungan baik harta dan jiwanya tidak boleh diganggu. Artinya ini menandakan bahwa Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin tidak diskriminatif dalam menentukan sikap perlindungan terhadap orang-orang di luar Islam.

B. Saran

Dari kesimpulan penelitian ini ada beberapa hal yang dapat ditawarkan sebagai saran dan rekomendasi, yaitu:

  1. Diharapkan kepada semua umat agar tidak menjadi terkotak-kotak dengan adanya konsep pembagian negara sebagaimana yang dirumuskan para ulama.
  2. Diharapkan kepada sarjana hukum Islam agar dapat menggali lebih dalam pandangan Asy-Syaibani khususnya yang bersinggungan dengan siyasah dauliyah.
  3. Diharapkan pemikiran Asy-Syaibani menjadi kontribusi positif bagi perkembangan dunia internasional dalam menyikapi hubungan internasional yang harmonis terutama pada waktu masa perang.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Ardahili, Fadhil Yusuf. al-Anwar li A’mal al-Abrar. Kairo: Muassasah Hasani, 1389 H.

Al-Asqalani, Ahmad ibn Hajr, Fath al-Bari. Riyad: Muhammmad ibn Su’ud al-Islamiyah, t.tp.

Dahlan, Abdul Aziz. et. al, Ensiklopedia Hukum Islam., Jilid 1. Jakarta: Ikhtiar van Hoeve, 1995.

Djazuli, Ahmad. Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu Syariah. Jakarta: Kencana, 2003.

Hadis Shahih Muslim, Juz 2. Beirut: Dar al-Fikr, 1993.

Ibn Taimiyah, Al-Fatawa al-Kubra. Kairo: Dar al-Ma’rifah, t.tp.

Iqbal, Javid. “The Concept of State in Islam,” dalam Mumtaz Ahmad (Ed.), StatePolitics and Islam. Washington: American Trust Publication, 1986.

Iqbal, Muhammad, Fiqh Siyasah; Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam. Jakarta: Grafindo Media Persada, 2001.

Kansil, C.S.T. Modul Hukum Internasional. Jakarta: Djambatan, 2002.

Khallaf, Abdul Wahab. Al-Siyasah al-Syariah. Dar al-Ansar: Kairo, 1997.

Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: al-Majlis al-A’la al-Indunisi li al-da’wah al-Islamiyah, 1392 H.

Kusumaatmadja, Mochtar dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Alumni, 2003.

Magenthau, Hans. J. Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991.

Mansur, Ali Ali. al-Syariah al-Islamiyah wa al-Qanun al-Duali al-‘Am. Kairo: Muhammad Taufiq Awiduh, 1971.

Al-Mawardi, Abu Hasan. Al-Ahkam Al-Sulthaniyah. Beirut: Dar al-Fikr, 1996.

Nasution, Sanwani. Beberapa Pokok dan Masalah Hukum Internasional. Medan: Fakultas Hukum USU, 1977.

Pirzada, Syarifddin. “Islam dan International Law,” dalam Altaf Gautar, et.al, The Challenge of Islam, London: Islam Council of Europe, 1978.

S.L. Roy, Diplomacy, diterjemahkan oleh Harwanto dan Mirsawati. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.

Sayyid Qutb, Fi Zhilal al-Quran. Beirut: Dar al-Syuruq, t.tp.

Soeprapto, Enny. Konsep Perlindungan Pengungsi dan Pelaksanannya, makalah Seminar Internasional “Refugee And Human Rights Protection”. Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala dan UNHCR, Darussalam, Banda Aceh, 11-12 November 1998.

Starke, J.G. Introduction to International Law diterjemahkan oleh Bambang Iriana Djajaatmaja buku kedua edisi ke-10. Jakarta: Sinar Grafika, 2004.

Al-Sarakhsi, Al-Mabsuth. Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.t.

Ash-Shiddieqy, T. M. Hasbi. Hukum Antar Golongan dalam Fiqh Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1971.

Asy-Syaibani, Muhammad bin Hasan. as-Siyar al-Kabir. Kairo: Syirkah Misriyah, 1958.

Widodo, L. Amin. Fiqh Siyasah Dalam Hubungan Internasional. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994.

Zuhaili, Wahbah. Atsar al-Harb fi al-Fiqh al-Islam. Syiria: Dar al-Fikr, t.tp.